Kamis, 20 November 2014

ILUSI KHILAFAH

ILUSI KHILAFAH | Royyan Habibie Santri PP. Besuk-Pasuruan

      Islam mempunyai prinsip-prinsip yang menjadi pondasi bagi pembangunan masyarakat manusia yang bersaudara, karena Islam menyadari bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan sesuai sunnatullah dengan keyakinan apapun pastilah hidup dengan cara  berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbangsa dan bersuku, bukan untuk saling bermusuhan dan saling membenci. Fitrah manusia dalam membangun hubungan antar sesamanya adalah fitrah kehidupan dengan penuh damai dan dalam ikatan persaudaraan. Konflik antara suku Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam (jahiliyah) adalah akibat tatanan masyarakat tribalisme (kesukuan) yang oleh Nabi diakhiri dengan prinsip persamaan, keadilan dan persaudaraan. 
     Namun prinsip keadilan yang menjadi muara semua prinsip diatas, karena keadilan menjadi tujuan akhir seluruh ajaran Islam.

      135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS; an-Nisa' 135)

      Berkenaan dengan keadilan ini, Dr. Yusuf al-Qardawiy dalam kitabnya Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyuduh menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan prinsip keadilan itu adalah menuntut manusia untuk selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin diberlakukan tidak adil (dzulmu)[1]. Keadilan yang dimaksud adalah adil dalam hal apapun dan kepada siapapun meski kecenderungan dan keinginan batin menuntut yang lain. Tidak terkecuali kepada orang yang berbeda keyakinan[2]. Sebab al-Quran sendiri memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan, bahkan keadilan kepada orang yang memerangi kita sekalipun.

      190. dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS: Al-Baqarah 190)

      Pada titik inilah kewajiban mengangkat khilafah dalam konsep fiqh siyasah klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok sekecil apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya pemimpin, mereka yang kuat akan menindas yang lemah, mereka yang mayoritas akan menindas yang minoritas[3]. Oleh sebab itu, mengapa Nabi memerintahkan setiap rombongan musafir untuk mengangkat amir (pemimpin) guna mengatur urusan mereka selama dalam perjalanan. Seorang pemimpin diangkat karena diidealkan, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah al-Hadits

"Pemimpin adalah bayangan Allah di bumi".

      Pemimpin adalah tempat berlindungnya orang-orang teraniaya untuk mendapatkan hak-haknya. Untuk tujuan itu juga mengapa kemudian pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah dan sepakat (konsensus/ijma') untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi[4]. Dan oleh sebab itu pula mengapa para mayoritas Ulama memberikan fatwa fardhu kifayah (kewajiban yang bersifat komunal) bagi tegaknya kepemimpinan dalam tata kehidupan manusia.
      Salah seorang Ulama yang berpengaruh tentang legitimasi teoritis politik Islam, Imam al-Mawardi  dalam kitabnya "al-ahkam as-sulthaniyah" memberikan penegasan mengenai hal di atas, bahwa sistem kepemimpinan atau kepemerintahan sejatinya adalah term yang tidak bisa lepas dari fiqh siyasah. Pemimpin diposisikan sebagai bangunan suatu tatanan pranata  sosial yang telah menjadi penyangga pilar suatu kepemerintahan. Mengangkat pemimpin adalah sebuah perwujudan ideal untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, adil, damai dan sejahtera.[5] Sehingga ketika  eksistensi dari al-imamah telah mengalami distorsi dan kevakuman oleh masyarakat, maka hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk atas kontinuitas agama maupun kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu mengangkat imam adalah wajib adanya.
      Selain al-Mawardi, salah seorang ulama populer sunni, Imam al-Ghazali juga mengemukakan pandanganya mengenai masalah kepemimpinan. Dalam kitabnya " al-Iqtishad fi al-I’tiqad " al-Ghazali berpandangan, bahwa ketertiban agama (nidzam ad-din) tidak akan terwujud bila tidak ada ketertiban poltik (imamah), bagi al-Ghazali ketertiban, kesehjetaraan, kedamaian agama harus melalui jalur kepemimpinan yang dibahasakan dengan imamah[6].

أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا، ونظام الدنيا لا يحصل إلا بإمام مطاع

      Hal tersebut dapat dipahami, bahwa secara subtansial yang hendak dilindungi dari kewajiban mengangkat seorang pemimpin dalam pandangan al-Mawardi ataupun al-Ghazali adalah, wujudnya tatanan sosial, keadilan yang merupakan prinsip agama.
      Sebuah pandangan senada juga pernah dikemukakan oleh tokoh intelektual NU  Abdurrahman Wahid. Dengan membawa adagium populer “(la islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi thaah)” ia memberikan satu pandangannya berkenaan dengan kepemimpinan. Menurutnya, dari adagium itu tampak jelas arti pemimpin bagi Islam, bahwa terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dengan konsep Negara dalam pandangan Islam. Sebab, pemimpin dalam pandangan Islam adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakkan prinsip-prinsip Islam[7].
      Seluruh Ulama sunni sepakat mengenai kewajiban untuk mengangkat pemimpin dalam tata kehidupan manusia. Namun meski demikian, tidak kemudian Ulama —kalangan sunni— menentukan bagaimana pola pemimpin yang harus ditegakkan. Harus berbentuk khalifah, sulthan, raja, atau presiden? Yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat pemimpin bukan berarti hanya dipahami sempit dengan kepemimpinan dengan pola khilafah sebagaimana yang dipahami oleh kalangan fundamentalis. Kalangan fundamentalis dalam hal ini, Taqiyudin Ahmad Ibn Taimiyah mengemukakan pendapatnya dalam sebuah karya yang utuh Siyasah as-Syar'iyah, menurutnya, sistem khalifah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model khilafah. Selain ibnu Taimiyah, salah seorang pemikir kanan literalis dan skripturalis yang merupakan murid ulama kontemporer terkemuka Muhammad Abduh, yaitu Rasyid Ridla juga berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Pendapat inilah yang kemudian digunakan pegangan oleh kalangan fundamentalis. Namun, sistem khalifah yang juga dikuatkan oleh Rasyid Ridla ini, pada akhirnya hanyalah sebuah ilusi dan mimpi belaka, apalagi jika hanya membatasi diri pada satu sistem tersebut.
      Bagi kalangan sunni, ajaran islam dalam persoalan kepemimpinan tidak berkait dengan istilah-istilah, nama atau gelar-gelar, namun islam berhubungan dengan makna dan subtansi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsir maqashidi-nya[8]. Untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa kepala negara atau sultan secara subtantif juga disebut sebagai Khalifah.

ومن ذلك قيل السلطان الاعظم: خليفة, لانه خلف الذي كان قبله, فقام مقامه

      Disamping itu, para Ulama sunni juga menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan pola Khilafah hanya berlangsung selama tiga puluh tahun. Masa 30 tahun itu dihitung mulai Khilafah Abu Bakar selama 2 tahun, lalu Umar selama 10 tahun lebih, berikutnya Utsman selama hampir 12 tahun dan diakhiri oleh Ali selama hampir 5 tahun. Setelah 30 tahun dari wafat Nabi, selesailah masa khilafah. Dalam hal ini, teolog dari golongan ahl sunnah wal jama’ah Imam Najmuddin An-Nasafi menjelaskan dalam al-Aqidatun Nasafiyyah:

والخلافة ثلاثون سنة ثم بعدها ملك وامارة
"khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu kerajaan dan keemiran." [9]

Analisa terhadap dalil kewajiban menegakkan khalifah
      Di tinjau dari segi dalil, kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola model khilafah memang hampir tidak ada yang secara tegas menyinggung hal tersebut, baik di dalam al-Quran, al-Hadits atau konsesus (ijma’) sahabat. Dalil yang digunakan sebagai argumentasi untuk mendukung wacana khilafah wajib ditegakkan adalah sebagai berikut:

            49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (al-Maidah: 49)

      Ayat ini dalam satu rangkaian kecaman terhadap siapapun yang mengamalkan agama secara parsial, hanya memilih sesuai dengan kepentingan dan kecendurungan pribadinya, bahkan memutar balikan pesan agama semata demi kepentingan kelompoknya. Di tangan kelompok fundamentalis ayat ini keliru dipahami sebagai dalil formalisasi syariat dan bentuk negara dengan pola kepemimpinan khilafah.

            59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS, an-Nisa': 59)

      Ayat tersebut merupakan seruan perintah kepada  kaum Muslimin untuk taat serta loyal kepada Imam . Sedangkan ketaatan itu, tidak akan terwujud kecuali terlebih dahulu mengangkat Imam sebagai orang yang mengatur dan memberlakukan prinsip-prinsip Islam di tengah umat. Sehingga konteks ayat diatas murni bicara mengenai nasbhu al-imamah, bukan khilafah.

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميته جاهلية
“barangsiapa mati dan di lehernya tidak terdapat bai’at maka orang tersebut mati sebagaimana kematian orang jahiliyah”

      Hadits ini disampaikan hanya dalam konteks kewajiban mendirikan seorang pemimpin, bukan dalam konteks kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola khilafah. Karena, hanya orang bodoh (jahiliyah) yang tidak mempunyahi pemimpin dalam tatanan sosial, tanpa pemerintahan. [10]
      Walaupun bahasa yang digunakan adalah istilah seperti ulil amri, imam, baiat. Akan tetapi, sama sekali tidak ada yang tegas menginstruksikan membentuk suatu negara dengan kepemimpinan model khilafah. Disini menarik untuk mengutip pendapat Ali Abd Raziq mengenai otoritas Nabi terhadap umatnya. Dan dari pendapatnya tersebut kita dapat memahami mengapa dalam Islam tidak ada satupun dalil yang membicarakan mengenai pola model politik yang harus diterapkan.
      Menurut Ali Abd Raziq, Nabi Muhammad SAW. semata-mata adalah seorang Rasul saja yang punya misi mendakwahkan ajarannya, dan tidak bermaksud untuk mendirikan Negara, serta tidak mempunyai kekuasaan duniawi maupun pemerintahan, terlebih mendirikan kerajaan[11].  Senada dengan Ali Abd Raziq, adalah sosiolog muslim Ibnu Khaldun, beliau mengungkapkan bahwa Nabi adalah seorang Rasul yang diutus untuk kepentingan syariat, bukan untuk mengajari masalah kedokteran atau hal-hal urusan dunia lainya[12] (termasuk politik). Berkaiatan dengan urusan duniawi ini Nabi memberikan suatu pernyataan;

أَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“kalian lebih mengerti mengenai urusan dunia kalian”

            Dengan demikian berarti secara tidak langsung bagi Abd Raziq dan Ibnu Khaldun, politik bukanlah merupakan bagian dari ajaran keagamaan secara formal. Politik merupakan urusan duniawi yang terus akan mengalami dinamismenya. Sehingga urusanya diserahkan penuh pada umat untuk menentukan model politik bagaimana yang akan diterapkan. Asalkan tetap dalam kontrol agama. Menurut  Ibnu Khaldun  jenis pemerintahan yang ada dalam praktek itu  ada dua macam, yaitu pemerintahan yang berdasarkan  agama  (Siyasah Diniyah)  dan  pemerintahan  yang  berdasarkan  politik  rasional  (Siyasah ‘Aqliyah).  Perbedaan  yang menonjol  dari  kedua  bentuk  pemerintahan  itu adalah  hukum-hukum  pada  pemerintahan  yang berdasarkan  agama  yaitu wahyu  Tuhan yang  disampaikan kepada  dan  oleh Nabi Muhammad  saw, sedangkan hukum-hukum pada pemerintahan politik rasional berdasarkan pemikiran dan pendapat petinggi negara atau intelektual-intelektual negara tersebut. Menurut  Ibnu Khaldun,  pemerintahan  yang  berdasarkan wahyu jauh  lebih baik daripada pemerintahan yang berdasarkan rasio saja, karena pemerintahan yang berdasarkan wahyu berguna untuk dunia dan akhirat, sedangkan pemerintahan yang berdasarkan rasio saja hanya berguna untuk dunia semata.[13] Namun demikian tidak lantas wahyu harus diterapkan secara tekstual-skriptual, pemerintahan berdasarkan wahyu bukan berarti dipahami sebagai kewajiban formalisasi syari'at. Karena Imam Syafi’i menyatakan;

لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ
Tidak ada politik melainkan apa yang sesuai dengan syariat.

      Ibnu Qayyim menjelaskan ungkapan مَا وَافَقَ الشَّرْعَ di atas bahwa yang terpenting dalam berpolitik bukanlah kesesuaianya dengan syariat secara teks إلَّا مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ atau tekstualis. Akan tetapi yang terpenting tidak bertolakbelakang dengan apa yang dikehendaki syariat.[14] Dengan kata lain kesesuaian dengan syariat bukanlah sebagai sikap untuk memformalkan bentuk politik itu. Politik dalam bentuk apapun tidak jadi masalah, asalkan tidak bertentangan dan dapat menjunjung tinggi apa yang menjadi tujuan syariat, politk seperti itu juga bisa dinilai sebagai politik yang syar’i. Cara berfikir dengan menggunakan kaidah مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ telah terbukti membuat agama tereduksi sedemikian rupa sehingga agama tidak lagi mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia.
      Sementara itu, pandangan diatas tarkait dengan posisi nabi, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Said Aqil Siradj dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”. Posisi nabi baginya, bukan hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga memerankan diri sebagai pemimpin pemerintahan. Fungsi ganda ini tercermin dalam sejarah pembaitan penduduk yatsrib yang disebut sebagai baiat aqabah. Peristiwa itulah yang kemudian dijadikan patokan pandangan oleh KH. Said Aqil Siradj bahwa pada periode madaniyah atau pasca hijrah, posisi nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama, melainkan juga pemimpin Negara[15].
      Akan tetapi, meskipun Nabi juga dapat dikatakan sebagai pemimpin kenegaraan. Namun demikian, perlu dicatat, nabi tidak pernah mengharuskan untuk membentuk suatu negara dengan pola paten seperti yang diklaim oleh kelompok yang getol mengusung ide tentang khalifah. Bahkan, Ijma' sahabat pun juga demikian, tidaklah tegas berbicara mengenai pola kepemimpinan model khilafah. Ijma' yang digulirkan oleh para sahabat pada saat menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin pengganti Nabi, hanya berkenaan dengan kewajiban mendirikan seorang pemimpin (nashbu al-imamah) bukan berkenaan sistem model pemerintahan dengan pola khilafah.

Khilafah sebagai solusi
      Mendirikan sebuah kepemimpinan dalam tatanan kehidupan memanglah merupakan sebuah keharusan demi untuk mewujudkan cita kemaslahatan dalam tatanan sosial agar tidak memihak pada kaum mayoritas. Namun demikian tidak lantas berarti mendirikan kepemimpinan harus dengan satu model yang dikenal dengan khilafah. Pemimpin dapat beraneka ragam sesuai dengan kondisi bagaimana Negara itu mengambil keputusan yang terbaik untuk masyarakatnya.
      Berbagai bukti konkrit yang ditinjau dari segi manapun, konsep khilafah sangat sulit sekali diterima. Sisi normatif yang digunakan sebagai acuan hukum pun tidak ada yang secara eksplisit mewajibkanya. Hal ini wajar, karena sejatinya islam tidak mengharuskan untuk menerapkan sebuah sitem kepemimpinan dengan model tertentu. Akan tetapi, islam mengharuskan untuk menegakkan  keadilan. Karenanya, dari premis diatas dapat disimpulkan bahwa, pemerintahan atau kepemimpinan tidak harus berbentuk khilafah, akan tetapi dapat beraneka ragam. Entah kerajaan, republik, atau dengan bentuk yang lain asalkan dapat menegakkan prinsip-prinsip islam, yaitu keadilan ('adalah), kebebasan (hurriyah), persaudaraan (ukhuwah), jaminan sosial (takaful), martabat kemuliyaan (karomah), amanah dan musyawarah.
      Dari sini timbul pertanyan, bukankah kalau khilafah berdiri ummat islam akan bersatu dalam ikatan persaudaraan? Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Dengan adanya khilafah bukankah keadilan dapat ditegakkan? Lantas kenapa harus ditolak?
      Pemerintahan dengan menggunakan sistem model khilafah sama sekali tidak menjamin akan tegaknya nilai-nilai keislaman —keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan dan  kasih  sayang—. Kekhilafahan Islam —pasca khulafa ar-rasyidin  dalam  realitas sejarahnya justru mencerminkan  kedzaliman,  kesewenangan,  perpecahan,  dan  penganiayaan. Lebih dari itu, sistem khalifah berpotensi terjadinya nepotisme kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada dinasti Umayyah (dinasti islam pertama yang dimulai dari masa pemerintahan Mu’awiyah). Dinasti ini lebih dikenal karena menjalankan roda pemerintahan imperium demi kepentingan sendiri, seolah-olah imperium Islam adalah milik perorangan, dan pemerintahan mereka bersifat duniawy dan tirani.  Hal inilah yang kemudian menjadi satu diantara penyebab keruntuhan dinasti umayyah.
      Sejarah mencatat, di era kekuasaan dinasti Umayyah telah terjadi perubahan yang cukup besar dalam bidang kenegaraan. Pola suksesi yang semula berdasarkan syura diganti dengan cara turun-menurun. Sikap yang sama sekali tidak mencerminkan Islam ini yang secara alami kemudian menimbulkan kecemburuan dan rasa dendam hingga pada akhirnya menimbulkan kerusuhan dan pemberontakan yang mengakibatkan kehancuran dinasti tersebut. Puncaknya, pada saat Marwan II al-Himar sebagai penguasa meninggal karena terbunuh. Setelah itu khilafah Islam berlangsung di bawah dinasty Abbasiyah[16].
      Ironisnya, Sejarah "buruk" kekhilafahan tidak berhenti pada masa Umayyah, akan tetapi juga terjadi di masa Abbasiyah. Al-Makmun sebagai salah satu penguasa dari dinasti Abasiyyah melakukan pemaksaan terhadap umat untuk menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai ideologi Negara atau yang lebih dikenal dengan peristiwa mihnah. Peristiwa itu menimbulkan pergolakan dan berujung penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap beberapa Ulama’.
      Fakta diatas, menunjukkan bahwa sistem khilafah tidaklah menjamin adanya keadilan atau pun persatuan. Bahkan,  sistem  ini hanya  menimbulkan  mudarat, kedzaliman,  kesewenangan,  perpecahan,  dan  penganiayaan. Bila dikatakan khilafah dapat mempersatukan umat Islam di dunia, pada kenyataanya dalam sejarah, justru sebaliknya, khilafah  tidak dapat mempersatukan dunia  Islam.
      Akhirnya dari sini dapat dipahami, bahwa khilafah sebagai solusi umat, pemersatu umat dan menjamin tegaknya keadilan hanyalah merupakan jargon atau omong kosong, kalau tidak hanya merupakan ilusi dan mimpi belaka.



[1] Dr. Yusuf al-Qardawi. Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyuduh (Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah) Pdf cet. 1, januari 1997 Citra Islami Press hal. 108.
[2] Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (cet-4, april 2012 SAS Foundation) hal. 144
[3] Munawwar Fuad Noeh – Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.) hal. 95
[4] Husein Afandi, Husun al-Hamidiyah, hal.204
[5] Al-Mawardi. Al-ahkam as-shulthaniyah. hal. 6
[6] Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Shamela)  hal. 75 vol. 1
[7] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (cet-1 agustus 2006, The Wahid Institute) hal. 96
[8] Ibnu Asyur, at-Tahwir wa at-Tanwir, (maktabah syamelah) hal. 228 vol. 3
[9] Abdullah al-Harari al-Habasyi, al-Mathalib al-Wafiyah Syarh al-'Aqidah al-Nasafiyyah, hal. 143
[10] Lihat, Ilusi Negara Islam. hal 196
[11] Ali Abd ar-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukmi (tanpa terbitan: cet-3 1925 M. )  hal. 71-80
[12] Dr. Hani Ahmad Faqih, Fiqh at-Ta'ayusy wa at-Tajdid. (cet.1 2010 dar al-fath.) hal. 149 / Ibn Khaldun, Muqadimah ibn Khaldun. hal. 494
[13] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006), 150-151.
[14] Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, at-Thuruq al-Hukmi fi al-Siyasah al-Syar’iyyah (Shamela), hlm 16.
[15] Said Aqil Siradj, Op.cit hal. 136
[16] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta) cet ke-3 2012 hal. 419-420

Kamis, 09 Oktober 2014

Mengaji Kitab Bidayah al Mujtahid

Mengaji Kitab Bidayah al Mujtahid | KH. Husein Muhammad


Semua buku Biografi tentang Ibnu Rusyd selalu menyebut Ibnu Rusyd al Hafid  pertama-tama adalah seorang filosof, pelopor rasionalisme dalam Islam, seorang dokter dan seorang ahli hukum Islam terkemuka. Tetapi ulasannya mengenai ketokohan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat jauh lebih luas dibanding bidang yang kedua dan ketiga. Tegasnya Ibnu Rusyd dalam dunia Islam sekalipun lebih dikenal sebagai filosof dibanding sebaga ahli hukum (faqih) atau lainnya. Syeikh Muhammad Wa’izh Zaadeh al Khurasani dalam makalah yang dipresentasikan pada sebuah simposium Ibnu Rusyd menyatakan dengan terus terang : “Sampai hari ini saya sudah membaca dua puluh buku tebal dan tipis. Semuanya berbicara tentang Ibnu Rusyd sebagai filosof. Saya tidak mengetahui buku yang menulis dia sebagai seorang ahli fiqh, kecuali tulisan ringkas dalam buku-buku biografi (kutub al Tarajum) atau dari bagian akhir buku fiqh satu-satunya yang ditulisnya, yaitu kitab “Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid”. Andaikata saja tidak ada buku ini kita sama sekali tidak akan mengetahui kepiawaiannya dalam bidang fiqh (hukum Islam)”.  

Dengan begitu mudah dimengerti jika popularitas pemikir besar ini dalam bidang fiqh tenggelam di bawah pikiran-pikirannya terutama tentang filsafat yang bertebaran dalam karya-karyanya yang cukup banyak. Meskipun begitu namanya tetap saja masuk dalam lingkungan tokoh-tokoh ushul fiqh. Ia adalah faqih dan ushuli.  Sebuah buku biografi berjudul Al Fath al Mubin fi Thabaqat al Ushuliyyin, tulisan Syeikh Abdullah Musthafa al Maraghi menyebutkan : “Al Failasuf Ibnu Rusyd. Ia adalah Muhammad bin Ahmad Abi al Walid bin Rusyd, populer disebut ‘al Hafid’ (sang cucu) dari Granada, bergelar Qadhi al Jama’ah, seorang faqih bermazhab Maliki, sastrawan, alim besar, al ushuli (ahli ushul fiqh), al hafizh al mutqin (ahli hadits), seorang filosof, dan penulis beragam bidang ilmu. Lahir di Cordova, tahun 520 H/1126 M. Ibnu Rusyd memperoleh ilmu pengetahuan dari ayahnya, hafal kitab “al Muwatha” (karangan Imam Malik) di luar kepala. Ia belajar fiqh dari beberapa ulama terkemuka pada masanya antara lain Abu al Qasim bin Basykwal, Abu Marwan bin Siraj, Abu Bakar ibnu Samhun, Abu Ja’far bin Abd al Aziz dan Abu Abdullah al Maziri”.(Fath al Mubin fi Thabaqat al Ushuliyyin, II/37). Sejumlah buku menyebutkan bahwa pikiran-pikiran Ibnu Rusyd dalam fiqh sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran kakeknya ; Ibnu Rusyd al Jadd (w. 520 H), seorang hakim Agung, mufti besar (Syeikh al Fatwa) di Andalusia dan Maroko, bermazhab Maliki dan referensi tertinggi (marji’ a’la) para hakim di dua wilayah tersebut. Dalam buku Bidayah, Ibnu Rusyd menyebut kakeknya dengan kata-kata  “al Qadhi” atau “Jaddi”. 

Seperti kakeknya, Ibnu Rusyd al Hafid adalah juga “qadhi al Jama’ah” (hakim agung) sebuah jabatan setingkat menteri di kedua wilayah tersebut. Jabatan ini merupakan karir tertinggi Ibnu Rusyd yang dijalaninya dengan sukses besar. Ia diangkat untuk jabatan tersebut sesudah selama beberapa tahun menjadi hakim tinggi di Seville yangketika itu menjadi ibukota Andalusia. Ketika pertama kali menjadi hakim tinggi tahun 565 H/1169 M ia masih berusia muda, 35 tahun. Sepuluh tahun kemudian ia kembali ke Cordova. Dan tidak lama sesudah itu ia diangkat kembali menjadi hakim tinggi tahun 575 H/1179 M untuk ke wilayah yang sama. Adalah menarik dicatat bahwa di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai hakim, ia juga menekuni bidang keilmuan yang lain, terutama filsafat. Konon sepanjang hidupnya dia tidak pernah libur belajar kecuali dua hari saja, ketika menikah dan ketika ayahnya meninggal dunia. Ia  menulis komentar, menerjemahkan dan menulis buku-buku filsafat, kedokteran, dan lain-lain. Perhatiannya dalam bidang filsafat jauh melebihi bidang lainnya. Di Seville tempatnya bekerja,  ia menghasilkan tiga karyanya yang paling orisinal dan independen yaitu Fashl al Maqal fi maa baina al Hikmah wa al Syari’ah min al Ittishal, Kasyf ‘an Manahij al Adillah dan Tahafut al Falasifah. Selain tiga buku ini ia juga menulis sejumlah buku yang lain. Sangat disayangkan memang bahwa kita tidak mendapatkan kompilasi fatwa-fatwa Ibnu Rusyd selama dia menjadi hakim agung.  Ibnu Rusyd meninggal dunia pada hari Kamis, 9 shafar 595 H/10 Desember 1198 M. Sebuah sumber mengatakan ia meninggal di tahanan dan dikubur di sana untuk pada gilirannya dipindahkan ke tempat yang lain. 

Latarbelakang Penulisan Kitab Bidayah al Mujtahid

Kitab fiqh ini sebagian besar isinya ditulis pada tahun 564 H/1168 M satu tahun sebelum diangkat sebagai hakim di Seville. Dapat dipastikan bahwa buku ini ditulis mendahului tiga buku di atas dan buku-buku filsafatnya yang lain. Karir awal Ibnu Rusyd memang dalam bidang. Ia sengaja menulis buku fiqh dengan memberi judul Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Pengantar bagi Mujtahid dan Pegangan bagi pemula). Atau dengan bahasa lain : Bidayah al Sair li al Mujtahid wa Nihayah al Mathaf li al Thalib al Mubtadi al Muqtashid. (Awal perjalanan bagi orang yang ingin menjadi mujtahid dan halte terakhir bagi pelajar tingkat menengah). Sebagian penulis menyebut : Bidayah al Mujtahid wa Kifayah al Muqtashid. (kitab pertama bagi calon mujtahid dan yang memadai bagi kelas menengah). Karena sasaran  pembacanya adalah kelas menengah dan calon mujtahid, maka buku tersebut ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sederhana tetapi juga sangat padat sambil mengemukakan dasar-dasar hukumnya dan sedikit analisis. Terasa oleh kita bahwa buku ini ingin mengemukakan sesuatu yang berbeda dari kecenderungan umum masyarakatnya. Ibnu Rusyd menulis buku ini di tengah-tengah berkembang dan merebaknya praktik-praktik keagamaan konservatif-tekstualis dan disosialisakannya secara massif tuntutan kepada masyarakat untuk bertaklid kepada para ulama. Untuk diketahui bahwa  pada masanya fiqh Daud Zhahiri yang dikembangkan secara lebih luas dan lebih dalam oleh Ibnu Hazm, ahli fiqh terkemuka kelahiran Kordova (w.1064 M) berkembang cukup pesat. Saya merasakan  bagaimana kegelisahan sekaligus keprihatinan Ibnu Rusyd ini menyaksikan praktik-praktik keberagamaan tersebut dan pada waktu yang sama ingin menggugatnya. Tetapi ia begitu santun, sabar dan rendah hati. Ia bukan tipe pemikir provokatif. Kegelisahan dan gugatan tersebut dikemukakan dengan nada samar-samar, pelan-pelan dan hati-hati seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri. Ini diungkapkannya dalam pengantar buku ini. Katanya : 

“Tujuan buku ini pertama-tama sebagai catatan bagi diri saya sendiri mengenai hukum-hukum yang disepakati dan hukum-hukum yang diperdebatkan di kalangan para mujtahid. Mengenai yang kedua ini saya mencoba memperlihatkan hal-hal yang menjadi titik krusial dalam perdebatan yang berlangsung di kalangan mereka dengan merujuk pada dasar-dasar teori (ushul dan kaedah fiqh) mereka. Dengan begitu saya berharap para mujtahid (baru) dapat mengkaji dasar-dasar tersebut untuk menjawab kasus-kasus atau masalah-masalah baru (al maskut ‘anha) yang mereka hadapi. Kebanyakan masalah dalam buku ini memang adalah masalah-masalah yang sudah pernah terjadi dan ada dalil agamanya (al masail al manthuq biha fi al syar’), atau mirip dengan itu. Masalah-masalah ini ada yang disepakati hukumnya dan ada pula yang diperdebatkan di antara para ahli hukum Islam (fuqaha) sejak masa sahabat sampai dengan masa berkembangnya taklid”.(Bidayah, hlm.2).

Pernyataan pengantar Ibnu Rusyd di atas menunjukkan dengan jelas mengenai pandangan Ibnu Rusyd tentang fiqh, sekaligus memberikan isyarat tentang perlunya masyarakat mengkaji dasar-dasar pemikiran fiqh. Bagian lain dari pengantar buku  ini memperlihatkan kecenderungan penulisnya yang sangat kuat untuk melakukan rekonstruksi terhadap kajian-kajian fiqh yang selama ini dilihat Ibnu Rusyd sebagai tidak berkembang dan konservatif. Melalui buku ini ia berharap kepada masyarakat terdidik untuk melakukan upaya “tahshil al ushul” (mengkaji dasar-dasar fiqh) atau bahkan mungkin “ta’shil al ushul’ (membongkar paradigma). Ia mengatakan bahwa masalah-masalah hukum sejak masa sahabat sampai masa taklid seluruhnya merupakan produk dan hasil-hasil kajian mereka terhadap dalil-dalil atau sumber-sumbernya.  Bahkan menurutnya hukum-hukum yang disepakati (ijma’) tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dihasilkan melalui proses-proses nalar ijtihad terhadap teks-teks sumber. Mengenai ini Ibnu Rusyd mengatakan : “Wa laisa al Ijma’ ashlan mustaqillan bi dzatihi min ghair istinad ila ahad hadzihi al thuruq al arba’ah”, (Ijma’ bukan merupakan dasar yang independen tanda menyandarkan pada salah satu empat metode di atas). ( Ibid, hlm. 5). Kalau boleh kita berpendapat, Ibnu Rusyd sebetulnya ingin mengatakan bahwa dalam kurun waktu yang cukup panjang, yakni sejak wafatnya Nabi sampai periode taqlid, fiqh sesungguhnya adalah hasil dari proses-proses intelektual yang intensif di antara para ahli hukum guna menjawab problem-problem kehidupan praktis di sekitar mereka. Karena itu kita seharusnya mengikuti cara-cara tersebut dan tidak hanya terpaku pada produk-produk pikiran mereka. Sangat jelas bahwa Ibnu Rusyd ingin menggugat kemapanan tradisional. “Seharusnya para ahli fiqh tidak selalu bertaklid kepada  orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal produk-produk fiqh mereka. Orang yang hafal produk-produk hukum para mujtahid, betapapun banyaknya, tidak bisa disebut “faqih”. Seseorang baru bisa disebut “faqih” (ahli fiqh), jika dia mampu menganalisis teks-teks hukum secara mendalam, melalui argumen-argumen yang dapat diterima akal pikiran dan mengembangkan dasar-dasarnya”. Begitu kira-kira yang dipikirkan tokoh ini. Ini juga yang sebelumnya dikatakan Imam al Ghazali : “La yusamma ‘aliman idza kana sya’nuhu al hifzh min ghair itthila’ ‘ala al hikam wa al asrar”.(tidak disebut ‘alim (pandai) orang yang pekerjaannya hanya menghafal teks-teks tanpa mengkaji hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya).(Ihya Ulumiddin, I/87). Hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia tentu saja adalah hal-hal yang terdalam, yang substantif dan yang rasional, bukan yang formal, yang kulit dan yang tekstual.    

Pandangan Ibnu Rusyd tersebut mengisyaratkan sikap rasionalitasnya terhadap aspek-aspek hukum. Menganalisis teks tidak bisa lain kecuali melalui akal yang dalam bahasa Ibnu Rusyd dalam bukunya yang lain sering disebut “hikmah”. Penggunaan akal, hikmah dan filsafat bagi Ibnu Rusyd adalah niscaya bagi pengembangan hukum dan pemikiran Islam yang lain. Tanpa akal teks-teks hukum dalam al Qur-an maupun Hadits tidak akan mampu menjawab kasus-kasus dan problem-problem kehidupan yang terus berkembang. Menurutnya “ucapan-ucapan Nabi (al nushsus), tindakan-tindakan Nabi (al af’al) dan pengakuan-pengakuan (al iqrarat) adalah terbatas, sementara peristiwa-peristiwa yang dihadapi manusia tidak terbatas. Adalah tidak mungkin bahwa hal-hal yang terbatas bisa memutuskan (menjawab) hal-hal yang tak terbatas”.(al Waqai’ baina Asykhas al Anasi ghair mutanahiyah wa al Nushush wa al Af’al wa al Iqrarat mutanahiyah). (ibid, hlm. 3).

Tetapi adalah menarik bahwa Ibnu Rusyd dalam pemaparannya tentang metode yang dipakai para mujtahid, masih memperlihatkan kedenderungannya untuk mengkaji aspek-aspek bahasa atau yang biasa disebut dengan “dilalah al alfazh”, pemaknaan teks. Ia sama sekali tidak mengungkapkan secara eksplisit tentang “Maqashid al Syari’ah” sebagai pijakan utama sebagaimana yang menjadi kecenderungan utama Abu Ishaq al Syathibi ahli hukum Spanyol lain yang lahir dua abad kemudian. Ibnu Rusyd tampaknya masih terpengaruh oleh kecenderungan umum para ahli fiqh pada masanya atau ingin mengikuti arus umum terhadap kajian fiqh poada masanya. Tetapi ia berbeda dengan pikiran ahli fiqh mainstream, perhatian utamanya adalah bagaimana teks-teks tersebut seharusnya dipahami melalui argumen rasional (burhan/demonstratif) Aristotelian. Ia memang memiliki konsistensi yang tinggi terhadap aspek rasionalitas ini untuk memahami agama. Tentu saja hal ini mengharuskan kita untuk menyatakan sekali lagi bahwa Ibnu Rusyd adalah  seorang tokoh yang memiliki basis rasionalisme Aristotelian yang sangat kuat. Inilah yang membedakan Ibnu Rusyd dengan para ahli fiqh lain pada masanya yang tetap mempertahankan pandangan-pandangan tradisional, konservatif dan tekstual. Dalam buku “Fashl al Maqal” yang ditulis kemudian, ia mengemukakan bahwa akal harus didahulukan dari naql jika keduanya dibaca secara bertentangan melalui metode “takwil”. Takwil adalah “mengeksplorasi dan memproduksi makna teks dari yang ‘hakiki’ kepada makna ‘majazi (metaforis) tanpa melepaskan diri dari tradisi penggunaan bahasa Arab”. Katanya : “Idza kanat al syari’ah nathaqat bihi fa la yakhlu zhahir al nuthq an yakuna muwafiqan li ma adda ilaihi al burhan fihi aw mukhalifan. Fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika wa idza kana mukhalifan thulib ta’wiluh”(Jika teks syari’ah (agama) berbicara maka makna lahiriah teks tersebut boleh jadi cocok dengan akal dan bisa jadi tidak. Jika cocok, maka tidak ada persoalan. Tetapi jika bertentangan ia harus ditakwil).(Fashl al Maqal, 97). Pernyataan ini  boleh jadi sengaja dikemukakan Ibnu Rusyd untuk mempertahankan kecenderungan rasionalistiknya dalam fiqh dari serangan lawan-lawannya.

Ibnu Rusyd : Alim-Faqih yang jujur 

Kitab Bidayah al Mujtahid, merupakan karya besar dalam bidang fiqh. Tetapi ia bukan kitab komentar luas (syarh), seperti kitab “Al Majmu’ syarh Muhazab” karya Imam Nawawi, misalnya. Bidayah hanya terdiri dari dua jilid tebal dengan jumlah halaman masing-masing 480 an. Seluruh persoalan fiqh dibahas pengarangnya secara ringkas, to the point, melalui metode komparatif dengan menampilkan berbagai pandangan fiqh, tanpa membatasi diri pada mazhab empat. Ia menyebut sejumlah tokoh besar lainnya seperti Ibnu Abi Laila (74-148 H), Abu Tsaur (240 H/854 M), Daud bin Ali al Zhahiri (201-270 H), Sufyan al Tsauri (97-161 H), Sufyan bin Uyaiynah (170-198 H), Abu Yusuf, dan lain-lain. Ibnu Rusyd tidak menyebut pandangan mazhab Syi’ah. Ini boleh jadi karena  mazhab tersebut tidak populer di sana atau tidak sampai kepadanya atau dia  menganggap bahwa pandangan mazhab Zhahiri sudah dapat mewakilinya. 

Tetapi adalah jelas bahwa masalah-masalah fiqh yang dibahas di dalamnya masih seperti diungkapkannya sendiri pada pengantarnya, merupakan masalah-masalah lama sebagaimana pada umumnya kita fiqh. Sudah tentu dari kitab ini kita tidak bisa berharap mendapatkan jawaban atas problem sosial, ekonomi, politik yang tengah kita hadapi sekarang. Meskipun begitu paradigma dan metode rasionalnya memberikan dasar bagi pengembangan hukum untuk merespon problem yang terjadi dalam ruang dan waktu yang lain. 

Banyak hal yang istimewa dari kitab ini dibanding kitab-kitab fiqh klasik yang lain yang berkembang pada masanya. Sejumlah “kelainan” yang mungkin perlu dikemukakan dalam kesempatan ini adalah sebagai berikut. 

Pertama, kitab ini disusun dengan sistematika yang sangat baik melalui metode deduktif. Dalam setiap tema bahasan yang disebut dengan “kitab” Ibnu Rusyd lebih dahulu mengemukakan hal-hal pokok yang menjadi kepentingan agama. Dari “kitab” di turunkan menjadi “bab” yang berisi topik-topik masalah penting, dan dari “bab” diurai lagi menjadi “pasal” dan terakhir “masalah-masalah” atau kasus-kasus hukum yang relatif lebih detail. Sesudah itu ia menampilkan hukum-hukum yang disepakati para faqih berikut dalil-dalil agamanya baik al Qur-an maupun hadits. Di dalam “masalah-masalah” tersebut dia mengemukakan pendapat setiap ahli faqih berikut argumen-argumennya baik naql (al Qur-an dan hadits) maupun aql dan pertimbangan-pertimbangan lain. Pada setiap masalah yang diperdebatkan para ulama Ibnu Rusyd menyampaikan latarbelakang perbedaan (sabab ikhtilaf), proses penarikan kesimpulan masing-masing ulama (istinbath) dan kesimpulan hukum masing-masing. 

Kedua, hal menarik yang lain dari Ibnu Rusyd adalah bahwa dia menuturkan semuanya melalui nada bahasa yang datar,  dengan bahasa yang santun, tanpa menggurui dan tanpa prasangka. Ia tidak pernah menggunakan kata-kata yang “menyalahkan” pihak yang tidak disetujuinya. Ia hanya mengatakan “wa syadzdza” (tidak umum). Lebih dari itu dia tidak memperlihatkan usahanya untuk melakukan pemihakan terhadap salah satu mazhab, termasuk mazhab yang dianutnya sendiri ; Malikiyah. Ia bukan seorang yang fanatik (ta’asshub madzhabi).  Ia tidak juga ingin mempengaruhi atau mengarahkan pembacanya kepada pandangan tertentu. Semuanya dibiarkan mengalir untuk menjadi pilihan mereka masing-masing.

Ketiga, meski bersikap netral-obyektif, tidak berarti bahwa dia tidak mempunyai pendapat tertentu yang disetujuinya. Ia tetap memilih pendapat yang sesuai dengan pikirannya. Tampaknya dia ingin tetap mempertahankan kepemihakan pada siapa saja yang memiliki argumen ilmiyah-rasional, bahkan seringkali untuk keperluan tersebut ia juga perlu mengungkapkan pendapat yang “langka” (naadir), tidak populer, pinggiran dan dia agaknya cenderung memilihnya. Ibnu Rusyd adalah pemikir fiqh aliran rasional (ahli ra’yi) yang bebas. Ini tampak misalnya dari kedenderungannya untuk lebih banyak mengungkapkan dukungan terhadap suatu argumen hukum dari aspek “dirayah” al hadits, dibanding aspek “riwayah”, terutama dalam bidang non ibadah. 
   
Untuk menjelaskan pandangan fiqh Ibnu Rusyd dan bagaimana dia begitu bebas memilih pendapat ahli fiqh, beberapa contoh kasus barangkali perlu dikemukakan. Pertama tentang kasus menyentuh tubuh perempuan.

“(Masalah ketiga). Para ulama berbeda pendpat tentang kewajiban wudhu bagi orang (laki-laki) yang menyentuh perempuan dengan tangan atau dengan bagian tubuh lainnya. Sebagian berpendapat orang yang menyentuh tubuh perempuan tanpa ada penghalang dia wajib wudhu. Demikian juga menciumnya karena mencium menurut mereka juga bermakna menyentuh (lams) tidak peduli apakah dia merasa “ladzdzah” (senang) atau tidak. Ini adalah pendapat al Syafi’i dan sahabat-sahabatnya. Tetapi mereka kadang-kadang membedakan antara orang yang menyentuh dan yang disentuh. Yang harus wudhu menurut sebagian mereka adalah orang yang menyentuh bukan yang orang disentuh. Kadang –kadang menyamakannya. Pada saat lain mereka membedakan antara “dzawat al maharim” (para perempuan keluarga dekat) dan isteri. Laki-laki yang menyentuh isterinya wajib wudhu, sementara menyentuh perempuan keluarga tidak wajib. Sebagian mereka menyamakan keduanya. Ulama lain berpendapat wajib wudhu bagi orang yang menyentuh perempuan jika disertai rasa senang atau sengaja untuk senang baik ada penghalang atau tidak. Sebagian pendapat tidak mensyaratkan adanya rasa senang. Ini adalah pendapat Imam Malik dan mayoritas sahabatnya. Sebagian pendapat tidak mewajibkan wudhu. Ini pendapat mazhab Abu Hanifah. Masing-masing pendapat mempunyai dasar hukum dari para sahabat Nabi. Tetapai seingat saya tidak ada seorang sahabatpun yang mensyaratkan adanya “rasa senang”. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya lafazh “lamasa” yang  bermakna ganda. Orang Arab memaknai “lamasa” sebagai menyentuh dengan tangan. Kadang-kadang mereka memaknainya sebagai “jima’” (berhubungan intim, coitus). Sebagian pendapat memaknai kata “lamasa” dalam ayat wudhu dengan arti “jima’”. Ayat tersebut ialah “aw laa mastum al nisa”. Sebagian memaknainya dengan “menyentuh dengan tangan”. Di antara mereka berpendapat bahwa ayat tersebut termasuk dalam katagori “al ‘am urida bihi al khas” (kata umum tapi dimaknai khusus), yaitu dengan arti menyentuh disertai “ada rasa senang”. Sebagian mereka memasukkannya dalam katagori “al ‘am urida bihi al ‘am”(kata umum dan bermakna umum) maka tidak ada persyaratan “ada rasa senang”. Pendapat yang mensyaratkan “ada rasa senang” sebetulnya bertentangan dengan keumuman ayat. Nabi sendiri pernah menyentuh isterinya Siti Aisyah dengan tangannya ketika beliau sujud. Boleh jadi Siti Aisyah juga menyentuhnya. Ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah dari Nabi Saw. Beliau mencium sebagian isterinya kemudian keluar shalat tanpa wudhu. Saya bertanya : “apakah yang dimaksud sebagian isteri tersebut adalah anda?”. Aisyah tertawa saja. Hadits ini oleh ulama Hijaz dianggap lemah sementara oleh ulama Kuffah dianggap sahih. Ibnu Abd al Barr termasuk yang meyakini kesahihannya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ma’bad bin Nabatah. Imam Syafi’i mengatakan ; “Jika hadits Ma’bad bin Nabatah ini sahih saya tidak akan berpendapat bahwa mencum dan menyentuh harus wudhu”. Ulama yang mewajibkan wudhu karena menyentuh dengan tangan berargumen bahwa kata “al lams” pada dasarnya (hakikatnya) berarti menyentuh, dan berarti “jima’” dalam pengertian “majaz” (metaforis). Jika terjadi perbedaan antara makna “dasar”(hakikat) dan makna “majaz”, maka yang paling baik diambil makna “hakikat”. Akan tetapi yang lain bisa mengatakan bahwa makna majaz jika banyak digunakan dalam pembicaraan, maka itu lebih dapat dimengerti daripada makna “hakikat”. Ini sebagaimana kata “al ghaith” yang sering dimaknai buang air besar padahal ini makna “majaz” sementara makna “hakikat” nya adalah tanah yang cekung (tanah rendah tempat buang air besar). Saya meyakini bahwa kata “al lams”, meskipun mempunyai dua makna yang sama atau hampir sama digunakan, lebih kuat diartikan “jima’ meskipun makna “majaz”. Ini karena Allah Swt sering menggunakan kata “mubasyarah”(bersentuhan kulit) dan “al lams” (menyentuh) untuk maksud “jima’”. (Bidayah, I/37-38).       

Contoh kedua tentang nikah Mut’ah. Ibnu Rusyd mengemukakan masalah ini dalam bab ke lima yang membahas ; “Nikah-Nikah yang dilarang Syara’, Nikah-Nikah yang salah (fasid) dan hukumnya”. 

“Nikah Mut’ah walaupun sangat banyak hadits-hadits Nabi yang menyebutkan keharamannya, tetapi terjadi perbedaan tentang waktunya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia diharamkan pada perang Khaibar, sebagian berpendapat pada penaklukan Makkah (yaum al fath), sebagian lagi pada perang Tabuk, sebagian lagi pada Haji Wada’ (haji perpisahan), sebagian lagi pada perang Awthas. Kebanyakan sahabat dan semua ahli fiqh perkotaan mengaramkannya. Pendapat Ibnu Abbas yang populer menghalalkannya. Pendapat ini diikuti oleh sahabat-sahabatnya di Makkah dan Yaman. Mereka meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas beragumentasi dengan firman Allah : “maka isteri-isteri yang kamu nikmati di antara mereka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya...”.(Q.S. al Nisa 24). Dalam mushaf Ibnu Abbas terdapat kata-kata “ila ajalin musamma” (sampai masa yang disebutkan). Ibnu Abbas pernah mengatakan : “Mut’ah tidak lain adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad saw. Kalau saja Umar bin Khattab tidak melarangnya maka tidak ada orang yang terpaksa melakukannya kecuali orang yang celaka (syaqiy). Pernyataan Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Amru bin Dinar. Atha mengatakan : “Saya mendengar Jabir bin Abdullah mengatakan : “Kami melakukan nikah  mut’ah pada masa Nabi saw masa Abu Bakar dan separoh masa Umar. Setelah itu Umar melarangnya”.  (ibid, II/58).

Demikianlah dua contoh dari materi fiqh yang terdapat dalam kitab Bidayah. Kita tentu bisa menganalisis sendiri-sendiri dan menilai bagaimana pendapat Ibnu Rusyd mengenai dua kasus tersebut. Menurut saya, pertama, pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan dengan jelas kealiman dan kejujuran Ibnu Rusyd. Ia mengemukakan semua pandangan fiqh yang diketahuinya menurut apa adanya, tanpa pretensi apapun. Kedua, pada kasus pertama Ibnu Rusyd cenderung mengikuti pandangan Imam Malik, mazhabnya sendiri, yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu. Pada kasus yang kedua Ibnu Rusyd cenderung mengikuti pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan nikah Mut’ah. Hal ini terkesan oleh pemaparannya terhadap pendapat Ibnu Abbas yang diurai secara lebih panjang. Atau meskipun dia tidak setuju nikah Mut’ah, paling tidak dia ingin memperkenalkan kepada publik tentang adanya pendapat yang membolehkan nikah Mut’ah yang juga memiliki argumentasi teks. Sayang sekali memang bahwa Ibnu Rusyd tidak membahas persoalan ini secara lebih luas terutama mengenai alasan-alasan sosiologis maupun rasional. Tetapi kita segera maklum bahwa sekali lagi kitab ini bukan ditulis untuk mengupas persoalan-persoalan fiqh secara lebih detail, melainkan sekedar mempertunjukkan bahwa fiqh selalu merupakan produk pemikiran orang yang memungkinkan berbeda-beda dan mempunyai rujukan teks yang bisa diinterpretasikan sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Dengan begitu, maka produk fiqh tidak bisa dimutlak-mutlakkan kebenarannya. 

Akhirnya, untuk memahami pandangan fiqh Ibnu Rusyd lebih lanjut sebaiknya kita membaca kitab ini bab demi bab sampai khatam. Lalu, saya kira dewasa ini paradigma berpikir Ibnu Rusyd, cara-caranya menyampaikan pikiran dan keterbukaannya dalam menerima pikiran-pikiran orang lain perlu diteruskan. Dan kitab Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid seyogyanya diajarkan di pesantren-pesantren, majlis-majlis ta’lim dan tempat-tempat pengajian/pendidikan yang lain.