Kamis, 07 Februari 2019

CERPEN: Pria Tua yang Sedang Menulis Takdir

Di sebuah kedai kopi yang menyajikan pemandangan laut –
Ada yang tiba-tiba mengganggu pikiranku. Saat aku terlena dalam bayangan, perhatianku mendadak tertuju pada pria tua yang tak jauh hanya berjarak beberapa meja dariku. Pria tua yang sejak tadi termenung memandangi laptop itu secara tidak sengaja terlihat olehku tiba-tiba menangis. Air matanya meleleh.
Sembunyi-sembunyi aku memperhatikan pria tua itu. Tingkahnya agak aneh, seperti orang dengan banyak beban masalah. Mungkin saja masalah pekerjaan yang menuntut dirinya untuk menyelesaikan sebuah tulisan, atau barangkali sebuah laporan, entahlah. Sejenak tangannya dengan gemetar ditaruh di keyboard laptop seperti hendak menuliskan sesuatu, tapi kemudian melepasakannya, tidak jadi.  Begitu terus diulang-ulang, lalu sesekali memandang jauh ke arah laut.
Ah sudahlah, sama sekali tak penting pikirku, apa urusannya denganku. Aku disini hanya ingin membuang penat.

**
Dua hari kemudian, aku bermaksud ke kedai kopi yang sama. Sebuah kedai kopi yang terletak di jalan pantura. Barangkali, karena lokasi yang berdekatan dengan laut itu, aku berpikiran tempat tersebut merupakan sumber inspirasi. Pemandangan laut dan senja yang memanjakan mata saat sore hari menjadikan kedai kopi itu tempatku sebagai pelepas penat untuk sekadar menulis, membaca dan sekaligus tempat penantian atas keindahan sekejap. Ya senja, ah betapa ia mengajariku bahwa keindahan itu hanya sebentar kemudian hilang ditelan gelap. Senjakala, bagiku adalah saat keseimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi dan kemudian gelap berkuasa atas bumi yang kupijak dan lenyaplah keindahan.
Bau khas kopi semerbak saat aku melangkah masuk kedai. Langkahku gontai akibat letih dari pekerjaan hari ini yang menumpuk. Agak lelah sebenarnya. Akan tetapi, pikirku, sedikit asupan kopi seteguk dua teguk barangkali bisa membuatku semangat kembali. Sukur-sukur bisa menulis satu dua puisi untuk kekasihku. Suasana agaknya cukup sepi dan tenang hari ini. Senja pun indah menjuntai. Sebuah kombinasi yang pas.
Tapi, sialan! orang tua itu bertengger lagi di meja seperti dua hari lalu. Masih dengan laptop dan wajah yang menyimpan beribu gelisah. Aneh.
**
Pria tua itu masih terlihat gelisah. Sesekali menyeruput kopi kemudian dilanjut hendak mengetik namun tak jadi, seolah hilang begitu saja kata yang telah dirangkai di kepalanya.
Setelah agak lama aku memperhatikannya. Tiba-tiba pria tua itu memandangku. Pandangannya tajam serupa ingin menerkam. Tapi tak berlangsung lama pandangan itu kemudian berubah menggambarkan kesedihan, sedih yang mendalam. Dengan tatapan yang masih ke arahku, terlihat air mata mengalir pelan dari matanya yang gelisah. Aneh sekali orang ini. Pikirku. Aku benar-benar tak tahan dengan tingkahnya.
Aku coba beranikan diri menghampiri pria tua di pojok itu. Dia terlihat menunduk seolah tertindih beban kesedihan yang mendera kehidupannya. Beban yang begitu berat.
“Maaf, bapak sedang apa?”
Pria tua itu tersentak mendapat pertanyaan yang tiba-tiba saat ia tertunduk lesuh. Dengan gelagapan ia menjawab “Saya hanya sedang menulis sebuah cerita pendek.”
“Boleh saya membaca tulisan bapak”
Disodorkannya laptop yang sejak tadi di depannya kepadaku. “Silahkan.”
Saat laptopnya disodorkan kepadaku, aku mengambil tempat duduk tepat disamping pria tua itu. Aku mulai membaca. Untuk menyingkat waktu, dan karena kemalasanku, aku hanya membaca tulisan di paragraf bagian akhir.
“Tak disangka, seberapa dalam hubungan antara keduanya, siapa pula yang bisa melawan takdir. Kematian itu memisahkan keduanya ketika secara tiba-tiba kecelakaan maut menjemput. Sang wanita yang menanti pertemuan di sebuah kedai melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana kematian menjemput kekasihnya di depan jalan tempat ia menanti pujaannya itu”.
Setelah sekilas membaca, tiba-tiba di luar kedai terdengar suara keras yang mengagetkan. Seperti suara benda keras terjatuh. Tak berapa lama para pelayan kedai dan beberapa pengunjung langsung berhamburan mendekat ke koridor kedai untuk melihat apa yang sedang terjadi. Termasuk aku. Sebuah kecelakaan terjadi. Mobil terpelanting, remuk berada di bawah truck Fuso. Dari kejauhan secara samar-samar, terlihat plat nopol mobil yang remuk itu. Kubaca dengan teliti. S 222 ARS. Tiba-tiba aku merasa sunyi, mendadak lemas kemudian gelap. 

Selasa, 05 Februari 2019

Kegilaan dan Kelucuan Beragama Ala Don Quixote | Moch. Royyan Habibi

Salah seorang penyair kenamaan, Goenawan Mohammad, dalam salah satu bukunya yang mendedahkan sebuah telaah atas karya Miguel de Cervantes menyatakan bahwa kisah dalam novel berumur 400 tahun dengan judul Don Quixote merupakan “kisah kocak yang menyimpan sesuatu yang tak bahagia”. Senada dengan Goenawan, penyair asal Inggris, Lord Byron juga menyatakan hal yang sama, “Inilah (Don Quixote) cerita paling sedih dari semua cerita. Dan lebih menyedihkan karena ia membuat kita tertawa.”

Di satu sisi, Don Quixote menggambarkan sebuah kesedihan dan rasa belas kasihan. Namun di sisi lain, ia memuat kelucuan, ketololan, kekonyolan, dan kegilaan yang membuat orang tertawa.

Don Quixote adalah sebuah novel klasik karya Miguel de Cervantes yang menceritakan tentang seorang lelaki dari salah satu dusun terpencil di Spanyol pada abad 17. Ia tergila-gila pada buku-buku cerita fiksi tentang kesatria kelana yang memang sedang laris menemukan pembacanya pada waktu itu. Kegemarannya pada cerita fiksi tentang kesatria kelana itu membuatnya terobsesi dan menjadikannya sebagai orang majenun: ia merasa betul-betul menjadi kesatria kelana yang ke mana-mana menunggang kuda dengan mengenakan baju zirah. Ia juga berfantasi sedang berpetualang melawan musuh-musuh imajinernya. Kincir angin dianggapnya raksasa. Ia menyerang “musuh” itu secara membabi buta.

Apa yang menimpa Don Quixote, meski terdengar menggelikan hati lantaran tingkah-tingkah konyolnya, tanpa kita sadari telah banyak menyeruak dan tergambar dalam ekspresi keagamaan sebagian besar orang hingga hari ini. Ekspresi keagamaan yang tampak begitu mirip dengan kegilaan Don Quixote. Keduanya sama-sama membuat imajinasi-imajinasi yang terkadang terlihat menyedihkan, namun di lain waktu juga terlihat menggelikan.

Kegilaan dan “keimanan” mungkin memang tampak begitu mirip bagi sebagian orang. Keduanya sama-sama merayakan kepercayaan pada sesuatu yang tak tampak, sesuatu yang dibayangkan. Sesuatu yang Devine, Makro-Kosmologi-Teosentris.

Atas nalar tersebut, Robert M. Pirsig, penulis Zen and the Art of Motorcycle yang dikutip oleh seorang ateis tulen, Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion, dengan jemawa mempersepsikan bahwa “Ketika satu orang menderita delusi, hal itu disebut kegilaan, dan ketika banyak orang yang menderita delusi, itu adalah agama.” Kegilaan dan keimanan, dalam mata Pirsig, ditabalkan memuat “semacam keterpakuan yang sama”, yaitu keterpakuan pada delusi (khayalan). Sehingga ia, pelaku/penganutnya, tak bisa membedakan lagi antara keduanya.

Walaupun tuturan Pirsig memicu kontroversi, sebab tentu menyangkut keyakinan kita kepada Tuhan yang kita sakralkan, namun memang semakin tampak nyata di lapangan betapa ekspresi keagamaan sebagian orang beragama hari ini seruang-sebangun dengan ekspresi “kegilaan” yang murni delusional itu. Menyedihkan, tapi begitulah adanya.

Kita bisa saksikan betapa akhir-akhir ini amat berjubel orang-orang beragama yang gemar memanggungkan mata yang nanar dan tangan mengepal, menunjukkan kemarahan yang tak pantas dan bahkan melakukan tindakan destruktif pada apa yang dianggapnya “musuh” atau “sesat”. Mereka menganggap liyan semuanya adalah musuh, padahal tentu saja nalar sehat kita memafhumi betapa mereka sendirilah yang sebenarnya menciptakan musuh dalam tempurung kepala mereka sendiri. Dalam benak mereka, seolah ada yang mengharuskan mereka untuk selalu siap siaga menghindari atau bahkan melakukan serangan kepada liyan. Minimal, memandang universalitas dunia ini dengan penuh rasa curiga.

Tak terhindarkan lalu terbentuklah sebuah conflict-mindset; cara berpikir yang menganggap dunia dalam suatu konflik, yang dengan ringan tak masuk akal ditashih dengan klaim-klaim delusional yang miris sekaligus menggelikan, seperti konspirasi zionis, perang proxy, kebangkitan komunis, dll. Mereka menciptakan ketakutan-ketakutan pada diri sendiri dan kemudian memberhalakannya seolah kenyataan yang mengerikan. Mereka hidup di bawah kungkungan bayang-bayang suatu keadaan buruk yang sebenarnya tidak ada dan semata hanya khayalan.  Sungguh sebuah delusi yang menghimpit sepenuh jeri!

Sangat mungkin memang, obsesi delusional itu dipantik oleh kegemaran mereka berpegang teguh pada kitab-kitab klasik yang ditulis dalam konteks peperangan atas nama agama atau suatu masa ketika antaragama saling berhadap-hadapan di medan laga, peperangan yang benar-benar nyata. Konteks itu kemudian mereka elaborasi secara delusional pada hari ini dan diseret terus ke masa sekarang, yang jelas sekali sangat jauh berbeda situasinya.

Sungguh menyedihkan dan sekaligus menggelikan. Alih-alih membela agama, pada kenyataannya mereka hanya sedang membela obsesi delusional yang tak jauh beda dengan delusi-personal Don Quixote.

Saling olok, gebrak-gebrak diskriminasi, menaruh rasa curiga, menjadi bumbu-bumbu utama dalam derap langkah ekspresi keagamaan mereka. Hidup menjadi terimajinasikan sedemikian majenunnya: berlaku radikal, merugikan tidak hanya orang lain, tapi diri sendiri sekaligus. Persis kelakuan Don Quixote.

Don Quixote, novel karya Cervantes yang ditulis lebih dari 400 tahun lalu, memang dimaksudkan untuk hal majenun ini. Cervantes alih-alih melawak dengan menampilkan kekonyolan yang tak terperikan, pada dasarnya ia sedang mengolok-olok ekspresi keagamaan obsesif-delusional macam begitu yang memang meruah di masa ia hidup.

Cervantes menulis Don Quixote pada masa Spanyol sedang membangun tanah air dengan menggunakan dasar agama Katolik. Spanyol sedang diselubungi oleh aksi-aksi diskriminasi, purbasangka, bahkan kesewenang-wenangan pada yang bukan Katolik atau liyan.

Gambaran masa demikian rupanya setali-seuang dengan keadaan kita hari ini. Kita, umat beragama, kembali terselubungi oleh purbasangka obsesif-delusional pada liyan. Klaim adanya konspirasi, kebangkitan komunis, dajjal, Yahudi, serbuan China, dll., menjadi narasi yang amat familier kita dengar hari ini. Dan, lagi-lagi, itu semua sepenuhnya hanya delusi nan menggelikan.

Celakanya lagi, yang lebih menggelikan, orang dengan gejala majenun akibat ekspresi keagamaan yang obsesif-delusional, juga lebih mungkin untuk percaya kepada berita palsu (hoax). Sebagaimana digambarkan oleh Cervantes, suatu ketika Sancho Panza, salah seorang petani bodoh yang diajak Don Quixote bermain dalam dunia imajinasinya dan didaulat sebagai pengawal, mempersembahkan pada tuannya tiga perempuan peladang yang kasar bicaranya dan buruk muka. Sancho mengatakan pada tuannya, Don Quixote, bahwa yang ada di depan matanya adalah Putri Dulcinea yang terkena sihir. Kefasihan tutur Sancho membuat Don Quixote percaya begitu saja pada apa yang dikatakan olehnya.

Rawannya orang-orang dengan gejala majenun untuk percaya pada berita palsu (hoax) sepenuhnya terjelaskan dengan kecenderungan mereka untuk terlibat dalam pemikiran yang fakir analitis di satu sisi dan sekaligus terdorong aktif intensif untuk mengabarkan marabahaya-marahabaya yang harus dihindari padahal itu hanyalah delusi-delusi. Mereka sungguh rawan “terjebak” dalam khayalan-khayalan saat membaca berita, bersosial media, sehingga gampang tumbang untuk percaya begitu saja, tanpa meneliti atau menganalisis terlebih dahulu. Persis benar dengan karakter Don Quixote yang percaya penuh pada kabar bohong Sancho lantaran imajinasinya sendiri mengkhayalkan bahwa Dulciniea disihir oleh musuhnya. Ia tidak bisa menganalisis dengan jernih kualitas apa yang dikabarkan oleh pengawalnya sendiri.

Don Quixote dengan gaya olok-olok kepada orang-orang yang berlebihan dalam mengekspresikan agamanya layak betul untuk kita jadikan pengingat hari ini. Ia relevan kita jadikan nasihat atas ancaman nyata delusi-delusi obsesif yang membahayakan dan merugikan harmoni hidup kita. Agama yang asalinya untuk menebar perdamaian dan rahmat harus kita selamatkan dari ekspresi-ekspresi obsesif-delusional  yang merusak itu. Plus, agar kelak sejarah tak mencatat kita sebagai bagian dari khazanah peradaban yang majenun nan menggelikan.

Sudah pasti, satu hal lagi yang harus kita cermati dengan kritis, yakni banjir ekspansi politisasi agama. Pula komodifikasi agama. Persis  Don Quixote, aktor-aktor ini dengan sengaja mengeduk keuntungan politis dan ekonomis dari umat yang tidak kritis. Rasanya, khusus buat aktor-aktor ini, sudah tidak memadai lagi menyebutnya “kapitalis sejati”, tapi perlu ditambahkan julukan penguatnya: “para penjual ayat Tuhan yang suci”.

Selasa, 27 Februari 2018

Sebagian Pendapat Para Ahli Mengenai Waktu dan Metode Menghafal Al-Quran. | M. Royyan Habibi, Santri PTYQ (Pondok Tahfidh Yanbu'ul Quran), Kudus.


(*)Dikutip dari kitab "Kaifa Tahfadh Al-Quran Al-Karim" karya Muhammad bin 'Ali Al-'Arfaj
______________________________________________________________________________
PART I

Dialog eksklusif bersama Ahmad bin Khalîl bin Syâhin bin Ahmad, salah satu pengajar Al-Quran tingkat menengah dan Tsânawiyyah di Riyâdh. Ilmu qirâ`ah dan ilmu tentang al-Quran beliau peroleh dari Universitas Al-Azhar, begitu juga ijazah (lisensi keilmuan) qirâ`ah sab’ah (tujuh ragam bacaan Al-Quran).

Berapa jumlah orang yang berhasil menghafal Al-Quran dihadapan Anda?

Ada 6 atau 7 orang dengan menggunakan riwayat imam Hafsh, sebagian yang lain menggunakan beragam riwayat yang berbeda-beda dan banyak lagi yang hanya sampai dua pertiga, setengah atau hanya seperempat saja.

Kapan waktu yang ideal digunakan untuk menghafal?

Waktu fajar; baik sebelum atau sesudahnya  dan pada waktu dluha. Sedangkan waktu yang ideal digunakan untuk murâja`ah yaitu pada waktu selain di atas.

Metode atau resep apa yang baik untuk menghafal Al-Quran?

1. Membaca Al-Quran dihadapan guru yang memiliki kredibilitas.
2. Untuk berapa jumlah ayat yang harus dihafalkan, kembali pada kemampuan diri masing-masing. 
3. Membaca salah satu kitab tafsir/terjemah untuk membantu atau merangsang hafalan setelah memahami arti ayat. Terlebih jika berkaitan dengan ayat-ayat tentang sebuah kisah atau ayat panjang yang berkaitan dengan hukum.
4. Harus selalu membawa pensil, agar sewaktu-waktu jika terdapat kesalahan bisa memberi tanda untuk diingat-ingat kembali sewaktu murâja'ah.
5. Mendengar bacaan murattal yang baik
6. Menulis ayat di lembaran atau buku catatan. Sebab, aktifitas menulis dapat membantu hafalan.

Bagaimana cara yang baik untuk menyesuaikan antara proses menghafal dan murâja'ah?

Harus membatasi berapa jumlah juz yang akan digunakan murâja'ah dan juga waktunya. Membaca Al-Quran pada waktu shalat fardlu atau sunnah dengan suara pelan.

Bagaimana cara mengetahui ayat yang memiliki kemiripan pelafalan di dalam al-Quran?

1. Terus menerus murâja'ah dan menyimak bacaan Al-Quran.
2. Membaca kitab/buku; seperti nadzam karya As-Sakhawi yang menjelaskan perihal ayat-ayat yang memiliki kemiripan.

Berapa lama standart menghafal Al-Quran bagi orang cerdas, orang biasa dan orang di bawah standart?

Relatif, tergantung diri masing-masing ¬ —orang cerdas— yang tidak memiliki kesibukan dan yang memiliki —sama halnya orang berkeinginan tinggi— cita-cita yang kuat bisa menghafal hanya dalam satu tahun, sedangkan standart dua tahun. 

Apa ada kaitannya antara suara keras dan pelan dengan menghafal?

- Mengeraskan suara lebih utama dan lebih manfaat. Selain itu, memiliki banyak faidah yang besar.
- Membuat suara menjadi merdu
- Mengetahui tartil
- Melatih lisan dan tulang rahang
- Membuat ucapan menjadi fasih
- Menjadikan hafalan lebih kuat
- Dapat menampakkan suara dasar yang tertahan pada pita suara.

Mana yang lebih cocok; membaca Al-Quran mulai dari awal atau dari akhir bagi orang yang ingin menghafal dan memperindah bacaannya?

Disesuaikan dengan kemampuannya, bisa mulai dari Al-Baqarah atau dari An-Nâs, namun yang lebih utama sesuai dengan urutan dalam Al-Quran, mulai dari Al-Baqarah. Akan teteapi masalah ini bersifat opsional, terbuka lebar untuk memilih mana yang baik.

Terkadang ada bacaan yang salah, dan kesalahan itu terus terulang saat membaca Al-Quran. Bagaimana solusinya?

Mengoreksi kesalahan dengan cara:

1. Menulis kalimat atau ayat yang salah
2. Memberikan tanda garis bawah
3. Membacanya berulang kali baik di shalat atau di luar shalat.

Apakah harus menggunakan satu mushaf tertentu untuk menghafal Al-Quran?

Harus tetap menggunakan mushaf dengan satu bentuk cetakan, karena beberapa faktor, diantaranya:

1. Hafalan itu terukir di dalam ingatan
2. Dapat membayangkan atau menggambarkan ayat; baris; paragraph awal dan akhir; apakah ayat ini ada di kiri atau sebelah kanan.

Apabila menggunakan beragam mushaf maka dampaknya hafalan  menjadi rancu dan terkadang lupa. 

Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, saat mengoreksi benar tidaknya bacaan harus selalu membawa pensil untuk menggaris bawahi kalimat atau ayat yang dianggap salah oleh guru, kemudian memperbaiki bacaannya. Dan selalu membawa pensil baik di kendaraan, rumah, sekolah, kampus dan di masjid. Jangan sampai meninggalkannya, kecuali memang saat berada dalam kondisi mendesak (darurat).

Apakah cukup sekadar memahami teori tajwid untuk membaca dengan benar dan baik?

Memahami tajwid memang penting, namun sebagai dasar, yang musti difokuskan adalah sisi praktik, misalnya; bacaan dengung, panjang pendek, tafkhim, tarqiq dan makhraj-makhraj huruf dst.

Mana yang lebih penting untuk membuat bacaan menjadi bagus? (Membaca sendiri) (membaca di hadapan guru) (mendengar kaset rekaman). Apakah mendengar rekaman memiliki dampak yang signifikan untuk sebagian besar pembaca Al-Quran?

Dilarang menghafal Al-Quran menggunakan media kaset rekaman, radio, mushaf atau orang yang tidak ahli, agar supaya terhindar dari penditorsian. Orang yang melarang adalah mayoritas ahli ilmu dan ulama’ fiqih.

Kenapa sebagian orang tidak mampu untuk meneruskan hafalannya?

Terputus atau tidak bisa meneruskan hafalan itu bisa karena dilatar belakangi berbagai faktor, yang paling mendasar adalah:

1. Tidak mengetahui derajat dan kedudukan penghafal Al-Quran di dunia dan akhirat.
2. Kurangnya tekad
3. Tidak patuh kepada orang tua dan tidak menganggap penting hal tersebut.
4. Tidak mendapat peringatan mengenai keutamaan Al-Quran sewaktu-waktu.

Wallahu A’lam, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad Saw. para keluarga dan segenap para shabatnya.⧠


Senin, 27 Februari 2017

Resensi kitab:Tajdid al Fiqhi al Islami (Inovasi Fiqih Islam). | Royyan Habibie

Membaca buku setebal 344 halaman ini, kita akan mendapatkan kesan hasil pemikiran yang benar-benar ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Jauh dari kesan "sembrono" atau gegabah dalam menyikapi hukum-hukum Islam hasil analisa (baca: ijtihad) ulama salaf yang ingin direlevansikan dengan zaman oleh sebagian kalangan. Hal ini tidak lepas dari kompetensi kedua penulis Dr.Jamaluddin Athiyyah Muhammad (Mesir) dan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily (Syiria) yang sudah begitu kondang dengan aktifitas keilmuannya.


Buku yang merupakan salah satu bagian dari kumpulan Hiwarat li Qarnin Jadid (Dialog untuk era modernisme) ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama, karya tulis Dr.Jamaluddin Athiyyah sebanyak 142 halaman. Bagian kedua, karya Dr.Wahbah Zuhaily sebanyak 79 halaman, dan Ta`qibat (Komentar dan kritik) antara kedua ulama tersebut sebanyak 34 halaman.


Dr. Jamaluddin membagi pemaparannya menjadi dua bagian besar. Pertama, berhubungan dengan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam usaha inovasi fiqih,dan kedua tentang sample penyusunan fiqih model baru yang menjadi usulannya.


Pada bagian pertama Dr. Jamal menawarkan 12 terobosan untuk pembaharuan fiqih yang mencakup materi fiqih dan materi yang perlu diinovasi; usaha "menghidupkan ruh" pada penulisan fiqih; perlunya studi perbandingan antar madzhab dan UU positif; selalu mengaitkan fiqih dengan aktifitas aktual; dan lain sebagainya.


Pada tiap langkah Dr.jamal memperinci dan menjelaskan usulannya dengan begitu hati-hati namun dinamis.


Bagian kedua, doktor kelahiran Mesir 1928 ini membahas usulannya dalam usaha penyusunan fiqih baru yang terdiri dari 16 pembagian besar. Pada tiap bagian,dia menyertakan contoh-contoh kitab modern yang sudah dipublikasikan.


Sedangkan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily yang saat ini sudah memiliki lebih dari 50 karangan kitab, memaparkan makalahnya dalam beberapa poin besar, yaitu ; Musytamalatu as Syari`ah (cakupan syareat) ; pensyareatan (Tasyri`),fiqih dan logika ; kebutuhan akan inovasi dan jangkauannya; bagian-bagian yang tidak boleh diubah (stagnan) dan yang boleh diubah dalam syareat; kemampuan Mujaddid (Pembaharu) dan Mujtahid; hukum fiqih yang bisa diinovasi dan yang tidak bisa diinovasi; ukuran-ukuran dalam tajdid yang diambil dari qowaid fiqh (kaidah-kaidah fiqih), maqoshid, sumber tasyri` (pensyareatan) baik yang ada nashnya maupun yang tidak ada; metode pembaharuan,contoh dan praktek.


Buku terbitan Dar al fikr al Muashir ini kemudian ditutup dengan dialog antara kedua penulis; berisi poin-poin yang disepakatikedua pihak,serta catatan dan komentar pada tiap paragrap tulisan.

Minggu, 12 Februari 2017

Resensi Buku | Oleh: Royyan Habibi, Santri PP. Besuk, Pasuruan

Dalam perbincangangan mengenai maslahah, tidak jarang terdengar satu gagasan kontroversial mengenai maslahah yang diciptakan oleh cendekiawan abad 7 H. penganut madzhab Hanbali, yaitu Najm ad-Din at-Thufi. Ia adalah salah seorang pemikir gemilang abad pertengahan yang mencurahkan perhatianya terhadap konsep kemaslahahan sebagai sumber hukum tertinggi. Menurutnya, perlindungan terhadap kemaslahahan  adalah tujuan utama Islam (quthb maqshud as-syar'). Oleh sebab itu, dalam permasalahan hukum Islam menurut at-Thufi maslahah menempati urutan pertama. Artinya, maslahah menurutnya lebih diprioritaskan dibanding sumber hukum lainya, yakni al-Qur'an, Hadits dan Ijma'. 


Gagasan at-Thufi yang lebih mesuperioritaskan maslahah ini tak ayal menjadi isu yang kontroversial lantaran gagasan at-Thufi sama sekali bertentangan dan melawan mainstream pemikiran ulama' yang —meminjam istilah Arkoun— cenderung logosentris dan menempatkan maslahah dibawah nash. 


Dalam  mengutarakan teori tentang maslahahnya, at-Thufi menyandarkanya pada empat prinsip. Pertama, Akal bebas menentukan maslahah dan mafsadat, terutama dalam wilayah mu’amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahah dan mafsadat cukup dengan akal. Pendiriannya bahwa akal semata tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan (husn dan qubh) menjadi landasan yang pertama dalam piramida pemikirannya. Tetapi ia membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu’amalah dan adat-istiadat dan melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash. 


Kedua, Maslahah merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujahannya tidak tergantung pada konfirmasi nash, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahah merupakan dalil mandiri untuk menentukan hukum. Karena, sesuatu itu bermanfaat atau mengandung maslahah bisa dinalar dengan atau melalui adat-istiadat dan eksperimen tanpa petunjuk nash.


Ketiga, Maslahah hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat kebiasaan. Sedangkan dalam bidang ibadah, ukuran-ukurannya ditentukan oleh syara’ seperti ibadah mahdah (shalat 5 waktu, puasa bulan ramadhan dan lain sebagainya). Demikian karena hal tersebut merupakan Huququllah (hak-hak Allah). Selanjutnya, dia juga mengatakan bahwa pada hubungan antar manusia itulah akal sangat mengetahui baik-buruknya.


Keempat, Maslahah merupakan dalil syara’ yang peling kuat. Karena itu, jika ada nash dan ijma’ bertentangan dengannya (maslahah), ia harus didahulukan dari keduannya dengan cara takhsis dan bayan terhadap nash. Jadi bukan dengan meninggalkan nash sama sekali.


Dari prinsip-prinsip tersebut, kesimpulan tertinggi atau bisa dibilang ultimate meaning sebagai representasi  dari pemikiran at-Thufi adalah taqdim al-maslahah 'ala an-nushus (lebih memprioritaskan maslahah dibanding nash). Pemikiran at-Thufi demikian yang kemudian membuatnya dikritik, bahkan dikecam dan dihujat oleh banyak ulama'. Syekh Sa'id Ramdlan al-Buthi misalnya, beliau mengkritik gagasan at-Thufi berkeneaan dengan maslahah ini, ia menyatakan, “gagasan at-Thufi hanya membuat hukum bukan lagi bersumber dari Tuhan, melainkan dari hasil ciptaan manusia, sehingga tak lebih seperti halnya utilitirianisme yang beranggapan bahwa maslahah hanya berhenti pada duiniawi”. Wahbah az-Zuhaili melalui karyanya Ushul Fiqh juga mengkritik dan merobohkan konsep maslahah at-Thufi dengan argumen yang logis dan rasional.


Kendati banyak ulama' yang kontra at-Thufi, akan tetapi banyak pula pihak yang pro dan sejalan dengan pemikiranya. Pemikiran brilian at-Thufi dianggap dapat menjadi solusi atas persoalan-persoalan modern. Dari sekian pihak yang pro dengan at-Thufi, ada satu yang menurut pandangan penulis analisanya menarik untuk dikaji. Walaupun pembacaan atau analisanya terhadap epistemologi maslahah at-Thufi terkesan bernada kritis, namun sebenarnya analisanya bersifat afirmatif dan sama sekali tidak merobohkan kesimpulan nalar kemaslahahan at-Thufi, bahkan bisa dikatakan berhasil menkontruksi ulang konsep kemaslahahan at-Thufi. Oleh sebab itu penulis memasukkanya pada pihak yang pro dengan at-Thufi. Analisis itu datang dari Dr. Roy Purwanto dengan bukunya “Dekontruksi Teori Hukum Islam; Kritik terhadap Konsep Mashlahah Najmuddin al-Thufi”.


Buku “Dekontruksi Teori Hukum Islam; Kritik terhadap Konsep Mashlahah Najmuddin al-Thufi” karya Dr. Roy Purwanto ini menarik untuk dibaca, karena  buku ini berada pada posisi kritis kontruktif.


Pada bagian awal buku, Dr. Roy Purwanto membahas tentang riwayat hidup at-Thufi dan bagaimana latar belakang munculnya ide at-Thufi. Menurutnya at-Thufi adalah cendekiawan yang hidup pada abad 7 H, masa dimana bangsa Islam dijajah oleh Mongol, politik dalam kondisi carut marut dan agama Islam mengalami kemunduran. Kondisi inferioritas dan keterjajahan itu yang kemudian mendongkrak motivasi para intelektual untuk berpikir keras membuat pola, merumuskan sikap, mencari posisi dan menyusun srategi. Fenomena itu akhirnya menyisakan kesadaran baru pada figur at-Thufi, sehingga at-Thufi mempunyahi gagasan yang progresif.


Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi dua sisi, yaitu kritik ideologis dan kritik epistemologis. Kritik epistemologis di antaranya adalah belum konsistennya penggunaan akal sebagai epistemologi primer bagi konsep mashlahahnya, karena penggunaan akal dalam konsep maslahah at-Thufi hanya sempit pada masalah mu’amalah. Demikian pula secara metodologi, ia kurang mengeksplorasi konsep mashlahah dengan teori dan definisi yang jelas. Konsep mashlahah yang dibangun aat-Thufi secara metodologi ”kering” teori. Artinya tak didukung dengan teori sosial, etika, dan teori hukum rasional, sehingga apa yang dimaksudkan dengan ”mendahulukan mashlahah daripada nash”(taqdim al-mashlahah ala an-nash) dan hukum-hukum turunannya kurang bisa dipahami secara rasional dan universal.


Kritik kedua secara ideologis, terlihat bahwa konsep mashlahah at-Thufi yang sebenarnya rasional, namun kembali terpasung oleh kekuatan teks. Hal ini terjadi karena, pada era at-Thufi kekuasaan teks (nash) begitu menghegemoni, sehingga setiap pendapat dan teori ilmiah selalu berpusat pada teks (nash). Secara tidak disadari, meskipun telah mencoba untuk bersikap "liberal", keluar dari kungkungan zamannya, namun al-Thufi terlihat masih ”terkungkung” dengan ideologi zamannya, yaitu ideologi teks (bayani). Mashlahah at-Thufi secara epistemologi masih ”kurang liberal" dan masih terkungkung dengan logika bayani, meskipun bayani rasional.


Untuk itu, menurut Roy Purwanto teori maslahah at-Thufi perlu di kontruksi kembali. Dalam usaha merekontruksi teorinya, Roy Purwanto menyatakan perlunya reinterpretasi terhadap term-term seputar konsep maslahah at-Thufi yang menurutnya kurang begitu jelas. Diantara yang perlu direinterpretasi adalah term “nash”. “Nash” yang menurut teori konvensional termasuk at-Thufi adalah teks Ilahi yang tidak butuh interpretasi rasio lantaran sudah begitu jelas, pemahaman demikian perlu diredifinisi, sebab bila tidak menurut Roy, akan terjebak dalam Logosentrisme. Demikian pula term “Qath’i”. Harusnya term “qath’i” adalah sebuah istilah untuk ayat-ayat muhkamat tentang equality, pleasure, kejujuran dan quality.


Disamping meredefinisi, menurut Roy juga perlu merekontruksi maslahah at-Thufi agar relevan dengan dunia modern melalui cara melakukan komparasi dengan teori kemaslahatan milik cendekiawan Islam, Syahrour yang sama sekali terlepas dari kungkungan teks. Disinilah menariknya buku karya Dr. Roy Purwanto. Ia dapat memposisikan konsep maslahah at-Thufi untuk tetap relevan diimplementasikan pada dunia modern, meskipun sebenarnya buku ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut, karena gagasannya yang liberal dan cenderung kontroversial.| RH

Kamis, 20 November 2014

ILUSI KHILAFAH

ILUSI KHILAFAH | Royyan Habibie Santri PP. Besuk-Pasuruan

      Islam mempunyai prinsip-prinsip yang menjadi pondasi bagi pembangunan masyarakat manusia yang bersaudara, karena Islam menyadari bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan sesuai sunnatullah dengan keyakinan apapun pastilah hidup dengan cara  berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbangsa dan bersuku, bukan untuk saling bermusuhan dan saling membenci. Fitrah manusia dalam membangun hubungan antar sesamanya adalah fitrah kehidupan dengan penuh damai dan dalam ikatan persaudaraan. Konflik antara suku Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam (jahiliyah) adalah akibat tatanan masyarakat tribalisme (kesukuan) yang oleh Nabi diakhiri dengan prinsip persamaan, keadilan dan persaudaraan. 
     Namun prinsip keadilan yang menjadi muara semua prinsip diatas, karena keadilan menjadi tujuan akhir seluruh ajaran Islam.

      135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS; an-Nisa' 135)

      Berkenaan dengan keadilan ini, Dr. Yusuf al-Qardawiy dalam kitabnya Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyuduh menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan prinsip keadilan itu adalah menuntut manusia untuk selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin diberlakukan tidak adil (dzulmu)[1]. Keadilan yang dimaksud adalah adil dalam hal apapun dan kepada siapapun meski kecenderungan dan keinginan batin menuntut yang lain. Tidak terkecuali kepada orang yang berbeda keyakinan[2]. Sebab al-Quran sendiri memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan, bahkan keadilan kepada orang yang memerangi kita sekalipun.

      190. dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS: Al-Baqarah 190)

      Pada titik inilah kewajiban mengangkat khilafah dalam konsep fiqh siyasah klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok sekecil apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya pemimpin, mereka yang kuat akan menindas yang lemah, mereka yang mayoritas akan menindas yang minoritas[3]. Oleh sebab itu, mengapa Nabi memerintahkan setiap rombongan musafir untuk mengangkat amir (pemimpin) guna mengatur urusan mereka selama dalam perjalanan. Seorang pemimpin diangkat karena diidealkan, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah al-Hadits

"Pemimpin adalah bayangan Allah di bumi".

      Pemimpin adalah tempat berlindungnya orang-orang teraniaya untuk mendapatkan hak-haknya. Untuk tujuan itu juga mengapa kemudian pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah dan sepakat (konsensus/ijma') untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi[4]. Dan oleh sebab itu pula mengapa para mayoritas Ulama memberikan fatwa fardhu kifayah (kewajiban yang bersifat komunal) bagi tegaknya kepemimpinan dalam tata kehidupan manusia.
      Salah seorang Ulama yang berpengaruh tentang legitimasi teoritis politik Islam, Imam al-Mawardi  dalam kitabnya "al-ahkam as-sulthaniyah" memberikan penegasan mengenai hal di atas, bahwa sistem kepemimpinan atau kepemerintahan sejatinya adalah term yang tidak bisa lepas dari fiqh siyasah. Pemimpin diposisikan sebagai bangunan suatu tatanan pranata  sosial yang telah menjadi penyangga pilar suatu kepemerintahan. Mengangkat pemimpin adalah sebuah perwujudan ideal untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, adil, damai dan sejahtera.[5] Sehingga ketika  eksistensi dari al-imamah telah mengalami distorsi dan kevakuman oleh masyarakat, maka hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk atas kontinuitas agama maupun kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu mengangkat imam adalah wajib adanya.
      Selain al-Mawardi, salah seorang ulama populer sunni, Imam al-Ghazali juga mengemukakan pandanganya mengenai masalah kepemimpinan. Dalam kitabnya " al-Iqtishad fi al-I’tiqad " al-Ghazali berpandangan, bahwa ketertiban agama (nidzam ad-din) tidak akan terwujud bila tidak ada ketertiban poltik (imamah), bagi al-Ghazali ketertiban, kesehjetaraan, kedamaian agama harus melalui jalur kepemimpinan yang dibahasakan dengan imamah[6].

أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا، ونظام الدنيا لا يحصل إلا بإمام مطاع

      Hal tersebut dapat dipahami, bahwa secara subtansial yang hendak dilindungi dari kewajiban mengangkat seorang pemimpin dalam pandangan al-Mawardi ataupun al-Ghazali adalah, wujudnya tatanan sosial, keadilan yang merupakan prinsip agama.
      Sebuah pandangan senada juga pernah dikemukakan oleh tokoh intelektual NU  Abdurrahman Wahid. Dengan membawa adagium populer “(la islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi thaah)” ia memberikan satu pandangannya berkenaan dengan kepemimpinan. Menurutnya, dari adagium itu tampak jelas arti pemimpin bagi Islam, bahwa terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dengan konsep Negara dalam pandangan Islam. Sebab, pemimpin dalam pandangan Islam adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakkan prinsip-prinsip Islam[7].
      Seluruh Ulama sunni sepakat mengenai kewajiban untuk mengangkat pemimpin dalam tata kehidupan manusia. Namun meski demikian, tidak kemudian Ulama —kalangan sunni— menentukan bagaimana pola pemimpin yang harus ditegakkan. Harus berbentuk khalifah, sulthan, raja, atau presiden? Yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat pemimpin bukan berarti hanya dipahami sempit dengan kepemimpinan dengan pola khilafah sebagaimana yang dipahami oleh kalangan fundamentalis. Kalangan fundamentalis dalam hal ini, Taqiyudin Ahmad Ibn Taimiyah mengemukakan pendapatnya dalam sebuah karya yang utuh Siyasah as-Syar'iyah, menurutnya, sistem khalifah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model khilafah. Selain ibnu Taimiyah, salah seorang pemikir kanan literalis dan skripturalis yang merupakan murid ulama kontemporer terkemuka Muhammad Abduh, yaitu Rasyid Ridla juga berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Pendapat inilah yang kemudian digunakan pegangan oleh kalangan fundamentalis. Namun, sistem khalifah yang juga dikuatkan oleh Rasyid Ridla ini, pada akhirnya hanyalah sebuah ilusi dan mimpi belaka, apalagi jika hanya membatasi diri pada satu sistem tersebut.
      Bagi kalangan sunni, ajaran islam dalam persoalan kepemimpinan tidak berkait dengan istilah-istilah, nama atau gelar-gelar, namun islam berhubungan dengan makna dan subtansi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsir maqashidi-nya[8]. Untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa kepala negara atau sultan secara subtantif juga disebut sebagai Khalifah.

ومن ذلك قيل السلطان الاعظم: خليفة, لانه خلف الذي كان قبله, فقام مقامه

      Disamping itu, para Ulama sunni juga menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan pola Khilafah hanya berlangsung selama tiga puluh tahun. Masa 30 tahun itu dihitung mulai Khilafah Abu Bakar selama 2 tahun, lalu Umar selama 10 tahun lebih, berikutnya Utsman selama hampir 12 tahun dan diakhiri oleh Ali selama hampir 5 tahun. Setelah 30 tahun dari wafat Nabi, selesailah masa khilafah. Dalam hal ini, teolog dari golongan ahl sunnah wal jama’ah Imam Najmuddin An-Nasafi menjelaskan dalam al-Aqidatun Nasafiyyah:

والخلافة ثلاثون سنة ثم بعدها ملك وامارة
"khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu kerajaan dan keemiran." [9]

Analisa terhadap dalil kewajiban menegakkan khalifah
      Di tinjau dari segi dalil, kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola model khilafah memang hampir tidak ada yang secara tegas menyinggung hal tersebut, baik di dalam al-Quran, al-Hadits atau konsesus (ijma’) sahabat. Dalil yang digunakan sebagai argumentasi untuk mendukung wacana khilafah wajib ditegakkan adalah sebagai berikut:

            49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (al-Maidah: 49)

      Ayat ini dalam satu rangkaian kecaman terhadap siapapun yang mengamalkan agama secara parsial, hanya memilih sesuai dengan kepentingan dan kecendurungan pribadinya, bahkan memutar balikan pesan agama semata demi kepentingan kelompoknya. Di tangan kelompok fundamentalis ayat ini keliru dipahami sebagai dalil formalisasi syariat dan bentuk negara dengan pola kepemimpinan khilafah.

            59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS, an-Nisa': 59)

      Ayat tersebut merupakan seruan perintah kepada  kaum Muslimin untuk taat serta loyal kepada Imam . Sedangkan ketaatan itu, tidak akan terwujud kecuali terlebih dahulu mengangkat Imam sebagai orang yang mengatur dan memberlakukan prinsip-prinsip Islam di tengah umat. Sehingga konteks ayat diatas murni bicara mengenai nasbhu al-imamah, bukan khilafah.

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميته جاهلية
“barangsiapa mati dan di lehernya tidak terdapat bai’at maka orang tersebut mati sebagaimana kematian orang jahiliyah”

      Hadits ini disampaikan hanya dalam konteks kewajiban mendirikan seorang pemimpin, bukan dalam konteks kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola khilafah. Karena, hanya orang bodoh (jahiliyah) yang tidak mempunyahi pemimpin dalam tatanan sosial, tanpa pemerintahan. [10]
      Walaupun bahasa yang digunakan adalah istilah seperti ulil amri, imam, baiat. Akan tetapi, sama sekali tidak ada yang tegas menginstruksikan membentuk suatu negara dengan kepemimpinan model khilafah. Disini menarik untuk mengutip pendapat Ali Abd Raziq mengenai otoritas Nabi terhadap umatnya. Dan dari pendapatnya tersebut kita dapat memahami mengapa dalam Islam tidak ada satupun dalil yang membicarakan mengenai pola model politik yang harus diterapkan.
      Menurut Ali Abd Raziq, Nabi Muhammad SAW. semata-mata adalah seorang Rasul saja yang punya misi mendakwahkan ajarannya, dan tidak bermaksud untuk mendirikan Negara, serta tidak mempunyai kekuasaan duniawi maupun pemerintahan, terlebih mendirikan kerajaan[11].  Senada dengan Ali Abd Raziq, adalah sosiolog muslim Ibnu Khaldun, beliau mengungkapkan bahwa Nabi adalah seorang Rasul yang diutus untuk kepentingan syariat, bukan untuk mengajari masalah kedokteran atau hal-hal urusan dunia lainya[12] (termasuk politik). Berkaiatan dengan urusan duniawi ini Nabi memberikan suatu pernyataan;

أَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“kalian lebih mengerti mengenai urusan dunia kalian”

            Dengan demikian berarti secara tidak langsung bagi Abd Raziq dan Ibnu Khaldun, politik bukanlah merupakan bagian dari ajaran keagamaan secara formal. Politik merupakan urusan duniawi yang terus akan mengalami dinamismenya. Sehingga urusanya diserahkan penuh pada umat untuk menentukan model politik bagaimana yang akan diterapkan. Asalkan tetap dalam kontrol agama. Menurut  Ibnu Khaldun  jenis pemerintahan yang ada dalam praktek itu  ada dua macam, yaitu pemerintahan yang berdasarkan  agama  (Siyasah Diniyah)  dan  pemerintahan  yang  berdasarkan  politik  rasional  (Siyasah ‘Aqliyah).  Perbedaan  yang menonjol  dari  kedua  bentuk  pemerintahan  itu adalah  hukum-hukum  pada  pemerintahan  yang berdasarkan  agama  yaitu wahyu  Tuhan yang  disampaikan kepada  dan  oleh Nabi Muhammad  saw, sedangkan hukum-hukum pada pemerintahan politik rasional berdasarkan pemikiran dan pendapat petinggi negara atau intelektual-intelektual negara tersebut. Menurut  Ibnu Khaldun,  pemerintahan  yang  berdasarkan wahyu jauh  lebih baik daripada pemerintahan yang berdasarkan rasio saja, karena pemerintahan yang berdasarkan wahyu berguna untuk dunia dan akhirat, sedangkan pemerintahan yang berdasarkan rasio saja hanya berguna untuk dunia semata.[13] Namun demikian tidak lantas wahyu harus diterapkan secara tekstual-skriptual, pemerintahan berdasarkan wahyu bukan berarti dipahami sebagai kewajiban formalisasi syari'at. Karena Imam Syafi’i menyatakan;

لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ
Tidak ada politik melainkan apa yang sesuai dengan syariat.

      Ibnu Qayyim menjelaskan ungkapan مَا وَافَقَ الشَّرْعَ di atas bahwa yang terpenting dalam berpolitik bukanlah kesesuaianya dengan syariat secara teks إلَّا مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ atau tekstualis. Akan tetapi yang terpenting tidak bertolakbelakang dengan apa yang dikehendaki syariat.[14] Dengan kata lain kesesuaian dengan syariat bukanlah sebagai sikap untuk memformalkan bentuk politik itu. Politik dalam bentuk apapun tidak jadi masalah, asalkan tidak bertentangan dan dapat menjunjung tinggi apa yang menjadi tujuan syariat, politk seperti itu juga bisa dinilai sebagai politik yang syar’i. Cara berfikir dengan menggunakan kaidah مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ telah terbukti membuat agama tereduksi sedemikian rupa sehingga agama tidak lagi mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia.
      Sementara itu, pandangan diatas tarkait dengan posisi nabi, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Said Aqil Siradj dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”. Posisi nabi baginya, bukan hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga memerankan diri sebagai pemimpin pemerintahan. Fungsi ganda ini tercermin dalam sejarah pembaitan penduduk yatsrib yang disebut sebagai baiat aqabah. Peristiwa itulah yang kemudian dijadikan patokan pandangan oleh KH. Said Aqil Siradj bahwa pada periode madaniyah atau pasca hijrah, posisi nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama, melainkan juga pemimpin Negara[15].
      Akan tetapi, meskipun Nabi juga dapat dikatakan sebagai pemimpin kenegaraan. Namun demikian, perlu dicatat, nabi tidak pernah mengharuskan untuk membentuk suatu negara dengan pola paten seperti yang diklaim oleh kelompok yang getol mengusung ide tentang khalifah. Bahkan, Ijma' sahabat pun juga demikian, tidaklah tegas berbicara mengenai pola kepemimpinan model khilafah. Ijma' yang digulirkan oleh para sahabat pada saat menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin pengganti Nabi, hanya berkenaan dengan kewajiban mendirikan seorang pemimpin (nashbu al-imamah) bukan berkenaan sistem model pemerintahan dengan pola khilafah.

Khilafah sebagai solusi
      Mendirikan sebuah kepemimpinan dalam tatanan kehidupan memanglah merupakan sebuah keharusan demi untuk mewujudkan cita kemaslahatan dalam tatanan sosial agar tidak memihak pada kaum mayoritas. Namun demikian tidak lantas berarti mendirikan kepemimpinan harus dengan satu model yang dikenal dengan khilafah. Pemimpin dapat beraneka ragam sesuai dengan kondisi bagaimana Negara itu mengambil keputusan yang terbaik untuk masyarakatnya.
      Berbagai bukti konkrit yang ditinjau dari segi manapun, konsep khilafah sangat sulit sekali diterima. Sisi normatif yang digunakan sebagai acuan hukum pun tidak ada yang secara eksplisit mewajibkanya. Hal ini wajar, karena sejatinya islam tidak mengharuskan untuk menerapkan sebuah sitem kepemimpinan dengan model tertentu. Akan tetapi, islam mengharuskan untuk menegakkan  keadilan. Karenanya, dari premis diatas dapat disimpulkan bahwa, pemerintahan atau kepemimpinan tidak harus berbentuk khilafah, akan tetapi dapat beraneka ragam. Entah kerajaan, republik, atau dengan bentuk yang lain asalkan dapat menegakkan prinsip-prinsip islam, yaitu keadilan ('adalah), kebebasan (hurriyah), persaudaraan (ukhuwah), jaminan sosial (takaful), martabat kemuliyaan (karomah), amanah dan musyawarah.
      Dari sini timbul pertanyan, bukankah kalau khilafah berdiri ummat islam akan bersatu dalam ikatan persaudaraan? Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Dengan adanya khilafah bukankah keadilan dapat ditegakkan? Lantas kenapa harus ditolak?
      Pemerintahan dengan menggunakan sistem model khilafah sama sekali tidak menjamin akan tegaknya nilai-nilai keislaman —keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan dan  kasih  sayang—. Kekhilafahan Islam —pasca khulafa ar-rasyidin  dalam  realitas sejarahnya justru mencerminkan  kedzaliman,  kesewenangan,  perpecahan,  dan  penganiayaan. Lebih dari itu, sistem khalifah berpotensi terjadinya nepotisme kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada dinasti Umayyah (dinasti islam pertama yang dimulai dari masa pemerintahan Mu’awiyah). Dinasti ini lebih dikenal karena menjalankan roda pemerintahan imperium demi kepentingan sendiri, seolah-olah imperium Islam adalah milik perorangan, dan pemerintahan mereka bersifat duniawy dan tirani.  Hal inilah yang kemudian menjadi satu diantara penyebab keruntuhan dinasti umayyah.
      Sejarah mencatat, di era kekuasaan dinasti Umayyah telah terjadi perubahan yang cukup besar dalam bidang kenegaraan. Pola suksesi yang semula berdasarkan syura diganti dengan cara turun-menurun. Sikap yang sama sekali tidak mencerminkan Islam ini yang secara alami kemudian menimbulkan kecemburuan dan rasa dendam hingga pada akhirnya menimbulkan kerusuhan dan pemberontakan yang mengakibatkan kehancuran dinasti tersebut. Puncaknya, pada saat Marwan II al-Himar sebagai penguasa meninggal karena terbunuh. Setelah itu khilafah Islam berlangsung di bawah dinasty Abbasiyah[16].
      Ironisnya, Sejarah "buruk" kekhilafahan tidak berhenti pada masa Umayyah, akan tetapi juga terjadi di masa Abbasiyah. Al-Makmun sebagai salah satu penguasa dari dinasti Abasiyyah melakukan pemaksaan terhadap umat untuk menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai ideologi Negara atau yang lebih dikenal dengan peristiwa mihnah. Peristiwa itu menimbulkan pergolakan dan berujung penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap beberapa Ulama’.
      Fakta diatas, menunjukkan bahwa sistem khilafah tidaklah menjamin adanya keadilan atau pun persatuan. Bahkan,  sistem  ini hanya  menimbulkan  mudarat, kedzaliman,  kesewenangan,  perpecahan,  dan  penganiayaan. Bila dikatakan khilafah dapat mempersatukan umat Islam di dunia, pada kenyataanya dalam sejarah, justru sebaliknya, khilafah  tidak dapat mempersatukan dunia  Islam.
      Akhirnya dari sini dapat dipahami, bahwa khilafah sebagai solusi umat, pemersatu umat dan menjamin tegaknya keadilan hanyalah merupakan jargon atau omong kosong, kalau tidak hanya merupakan ilusi dan mimpi belaka.



[1] Dr. Yusuf al-Qardawi. Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyuduh (Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah) Pdf cet. 1, januari 1997 Citra Islami Press hal. 108.
[2] Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (cet-4, april 2012 SAS Foundation) hal. 144
[3] Munawwar Fuad Noeh – Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.) hal. 95
[4] Husein Afandi, Husun al-Hamidiyah, hal.204
[5] Al-Mawardi. Al-ahkam as-shulthaniyah. hal. 6
[6] Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Shamela)  hal. 75 vol. 1
[7] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (cet-1 agustus 2006, The Wahid Institute) hal. 96
[8] Ibnu Asyur, at-Tahwir wa at-Tanwir, (maktabah syamelah) hal. 228 vol. 3
[9] Abdullah al-Harari al-Habasyi, al-Mathalib al-Wafiyah Syarh al-'Aqidah al-Nasafiyyah, hal. 143
[10] Lihat, Ilusi Negara Islam. hal 196
[11] Ali Abd ar-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukmi (tanpa terbitan: cet-3 1925 M. )  hal. 71-80
[12] Dr. Hani Ahmad Faqih, Fiqh at-Ta'ayusy wa at-Tajdid. (cet.1 2010 dar al-fath.) hal. 149 / Ibn Khaldun, Muqadimah ibn Khaldun. hal. 494
[13] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006), 150-151.
[14] Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, at-Thuruq al-Hukmi fi al-Siyasah al-Syar’iyyah (Shamela), hlm 16.
[15] Said Aqil Siradj, Op.cit hal. 136
[16] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta) cet ke-3 2012 hal. 419-420