ILUSI KHILAFAH | Royyan Habibie Santri PP. Besuk-Pasuruan
Islam mempunyai
prinsip-prinsip yang menjadi pondasi bagi pembangunan
masyarakat manusia yang bersaudara, karena Islam menyadari bahwa manusia
sebagai makhluk sosial dan sesuai sunnatullah dengan keyakinan apapun
pastilah hidup dengan cara berkelompok, bersama satu dengan yang lain,
berbangsa dan bersuku, bukan untuk saling bermusuhan dan saling membenci. Fitrah manusia dalam membangun hubungan antar sesamanya
adalah fitrah kehidupan dengan penuh damai dan dalam ikatan persaudaraan.
Konflik antara suku Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam (jahiliyah)
adalah akibat tatanan masyarakat tribalisme (kesukuan) yang
oleh Nabi diakhiri dengan prinsip persamaan, keadilan dan persaudaraan.
Namun prinsip keadilan yang menjadi muara semua prinsip diatas,
karena keadilan menjadi tujuan akhir seluruh ajaran Islam.
135. Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS; an-Nisa' 135)
Berkenaan dengan keadilan ini,
Dr. Yusuf al-Qardawiy dalam kitabnya
Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi
Nasyuduh menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan prinsip keadilan itu adalah
menuntut manusia untuk selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin
diberlakukan tidak adil (
dzulmu)
. Keadilan yang dimaksud adalah adil dalam hal apapun dan kepada siapapun
meski kecenderungan dan keinginan batin menuntut yang lain. Tidak
terkecuali kepada orang yang berbeda keyakinan
.
Sebab al-Quran sendiri memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan,
bahkan keadilan kepada orang yang memerangi kita sekalipun.
190. dan perangilah di jalan
Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS: Al-Baqarah 190)
Pada titik inilah kewajiban mengangkat
khilafah dalam konsep fiqh siyasah klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok
sekecil apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya
pemimpin, mereka yang kuat akan menindas yang lemah, mereka yang mayoritas akan
menindas yang minoritas
. Oleh sebab itu, mengapa Nabi memerintahkan setiap rombongan
musafir untuk mengangkat
amir (pemimpin) guna mengatur urusan mereka selama dalam perjalanan. Seorang pemimpin diangkat karena diidealkan,
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah al-Hadits
"Pemimpin
adalah bayangan Allah di bumi".
Pemimpin adalah
tempat berlindungnya orang-orang teraniaya untuk mendapatkan hak-haknya. Untuk
tujuan itu juga mengapa kemudian pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah
dan sepakat (konsensus/
ijma') untuk mengangkat
pemimpin pengganti Nabi
. Dan
oleh sebab itu pula mengapa para mayoritas Ulama memberikan fatwa
fardhu
kifayah (kewajiban yang bersifat komunal) bagi tegaknya kepemimpinan dalam tata kehidupan manusia.
Salah seorang
Ulama yang berpengaruh tentang legitimasi teoritis politik Islam, Imam al-Mawardi
dalam kitabnya "
al-ahkam
as-sulthaniyah" memberikan penegasan mengenai hal di atas, bahwa
sistem kepemimpinan atau kepemerintahan sejatinya adalah term yang tidak bisa
lepas dari fiqh
siyasah. Pemimpin diposisikan sebagai bangunan suatu
tatanan pranata
sosial yang telah menjadi penyangga pilar
suatu kepemerintahan. Mengangkat pemimpin
adalah sebuah perwujudan ideal untuk menciptakan pemerintahan yang stabil,
adil, damai dan sejahtera.
Sehingga ketika
eksistensi dari
al-imamah
telah mengalami distorsi dan kevakuman oleh
masyarakat, maka hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk atas kontinuitas
agama maupun kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu mengangkat imam
adalah wajib adanya.
Selain
al-Mawardi, salah seorang ulama populer sunni, Imam al-Ghazali juga
mengemukakan pandanganya mengenai masalah kepemimpinan. Dalam kitabnya "
al-Iqtishad fi al-I’tiqad " al-Ghazali berpandangan,
bahwa ketertiban agama (
nidzam ad-din) tidak akan terwujud bila tidak
ada ketertiban poltik (
imamah), bagi al-Ghazali ketertiban, kesehjetaraan, kedamaian agama harus melalui jalur
kepemimpinan yang dibahasakan dengan imamah
.
أن نظام الدين لا يحصل إلا
بنظام الدنيا، ونظام الدنيا لا يحصل إلا بإمام مطاع
Hal tersebut dapat dipahami, bahwa secara subtansial yang hendak
dilindungi dari kewajiban mengangkat seorang pemimpin dalam pandangan
al-Mawardi ataupun al-Ghazali adalah, wujudnya tatanan sosial, keadilan yang
merupakan prinsip agama.
Sebuah pandangan senada juga
pernah dikemukakan oleh tokoh intelektual NU
Abdurrahman Wahid. Dengan membawa adagium populer “(
la islama illa bi
jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi thaah)” ia
memberikan satu pandangannya berkenaan dengan kepemimpinan
. Menurutnya,
dari adagium itu tampak jelas arti pemimpin bagi Islam, bahwa terdapat hubungan
sangat erat antara kepemimpinan dengan konsep Negara dalam pandangan Islam.
Sebab, pemimpin dalam pandangan Islam adalah pejabat yang bertanggung jawab
tentang penegakkan prinsip-prinsip Islam
.
Seluruh Ulama sunni
sepakat mengenai kewajiban untuk mengangkat pemimpin dalam tata kehidupan
manusia. Namun meski demikian, tidak kemudian
Ulama —kalangan sunni— menentukan bagaimana pola pemimpin yang harus
ditegakkan. Harus berbentuk khalifah, sulthan, raja, atau presiden? Yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat pemimpin bukan berarti
hanya dipahami sempit dengan kepemimpinan dengan pola khilafah sebagaimana yang
dipahami oleh kalangan fundamentalis. Kalangan fundamentalis dalam hal
ini, Taqiyudin Ahmad Ibn Taimiyah mengemukakan pendapatnya dalam sebuah karya
yang utuh Siyasah as-Syar'iyah, menurutnya, sistem khalifah merupakan
satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya
mendirikan pemerintahan model khilafah. Selain ibnu Taimiyah, salah seorang
pemikir kanan literalis dan skripturalis yang merupakan murid ulama kontemporer
terkemuka Muhammad Abduh, yaitu Rasyid Ridla juga berpendapat sama dengan Ibnu
Taimiyah. Pendapat inilah yang kemudian digunakan pegangan oleh kalangan
fundamentalis. Namun, sistem khalifah yang juga dikuatkan oleh Rasyid Ridla
ini, pada akhirnya hanyalah sebuah ilusi dan mimpi belaka, apalagi jika hanya
membatasi diri pada satu sistem tersebut.
Bagi kalangan
sunni, ajaran islam dalam persoalan kepemimpinan tidak berkait dengan istilah-istilah, nama atau gelar-gelar, namun islam berhubungan dengan
makna dan subtansi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur dalam kitab
tafsir maqashidi-nya
.
Untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa kepala negara atau sultan secara
subtantif juga disebut sebagai Khalifah.
ومن ذلك قيل السلطان الاعظم:
خليفة, لانه خلف الذي كان قبله, فقام مقامه
Disamping itu,
para Ulama sunni juga menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan pola Khilafah hanya
berlangsung selama tiga puluh tahun. Masa 30 tahun itu dihitung mulai Khilafah
Abu Bakar selama 2 tahun, lalu Umar selama 10 tahun lebih, berikutnya Utsman
selama hampir 12 tahun dan diakhiri oleh Ali selama hampir 5 tahun. Setelah 30
tahun dari wafat Nabi, selesailah masa khilafah. Dalam hal ini, teolog dari golongan ahl sunnah wal jama’ah Imam Najmuddin
An-Nasafi menjelaskan dalam al-Aqidatun Nasafiyyah:
والخلافة ثلاثون سنة ثم بعدها
ملك وامارة
"
khilafah
berlangsung selama tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu kerajaan dan
keemiran."
[9]
Analisa
terhadap dalil kewajiban menegakkan khalifah
Di tinjau dari
segi dalil, kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola model khilafah memang
hampir tidak ada yang secara tegas menyinggung hal tersebut, baik di dalam al-Quran, al-Hadits atau
konsesus (ijma’) sahabat. Dalil
yang digunakan sebagai argumentasi untuk mendukung wacana khilafah wajib
ditegakkan adalah sebagai berikut:
49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah
bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik. (al-Maidah: 49)
Ayat ini dalam
satu rangkaian kecaman terhadap siapapun yang mengamalkan agama secara parsial,
hanya memilih sesuai dengan kepentingan dan kecendurungan pribadinya, bahkan
memutar balikan pesan agama semata demi kepentingan kelompoknya. Di tangan
kelompok fundamentalis ayat ini keliru dipahami sebagai dalil formalisasi
syariat dan bentuk negara dengan pola kepemimpinan khilafah.
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS,
an-Nisa': 59)
Ayat tersebut
merupakan seruan perintah kepada kaum
Muslimin untuk taat serta loyal kepada Imam . Sedangkan ketaatan itu, tidak
akan terwujud kecuali terlebih dahulu mengangkat Imam sebagai orang yang
mengatur dan memberlakukan prinsip-prinsip Islam di tengah umat. Sehingga
konteks ayat diatas murni bicara mengenai nasbhu al-imamah, bukan khilafah.
من مات وليس في
عنقه بيعة مات ميته جاهلية
“barangsiapa mati
dan di lehernya tidak terdapat bai’at maka orang tersebut mati sebagaimana
kematian orang jahiliyah”
Hadits ini
disampaikan hanya dalam konteks kewajiban mendirikan seorang pemimpin, bukan
dalam konteks kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola khilafah. Karena, hanya
orang bodoh (jahiliyah) yang tidak mempunyahi pemimpin dalam tatanan sosial,
tanpa pemerintahan.
Walaupun bahasa
yang digunakan adalah istilah seperti ulil amri, imam, baiat. Akan
tetapi, sama sekali tidak ada yang tegas menginstruksikan membentuk suatu
negara dengan kepemimpinan model khilafah. Disini menarik untuk mengutip
pendapat Ali Abd Raziq mengenai otoritas Nabi terhadap umatnya. Dan dari
pendapatnya tersebut kita dapat memahami mengapa dalam Islam tidak ada satupun
dalil yang membicarakan mengenai pola model politik yang harus diterapkan.
Menurut Ali Abd
Raziq, Nabi Muhammad SAW. semata-mata adalah seorang Rasul saja yang punya misi
mendakwahkan ajarannya, dan tidak bermaksud untuk mendirikan Negara, serta
tidak mempunyai kekuasaan duniawi maupun pemerintahan, terlebih mendirikan
kerajaan
.
Senada dengan Ali Abd Raziq, adalah sosiolog
muslim Ibnu Khaldun, beliau mengungkapkan bahwa Nabi adalah seorang Rasul yang
diutus untuk kepentingan syariat, bukan untuk mengajari masalah kedokteran atau
hal-hal urusan dunia lainya
(termasuk politik). Berkaiatan dengan urusan duniawi ini Nabi memberikan suatu
pernyataan;
أَنْتُمْ اَعْلَمُ
بِاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“kalian
lebih mengerti mengenai urusan dunia kalian”
Dengan demikian berarti secara tidak langsung bagi
Abd Raziq dan Ibnu Khaldun, politik bukanlah merupakan bagian dari ajaran
keagamaan secara formal. Politik merupakan urusan duniawi yang terus akan
mengalami dinamismenya. Sehingga urusanya diserahkan penuh pada umat untuk
menentukan model politik bagaimana yang akan diterapkan. Asalkan tetap dalam
kontrol agama. Menurut
Ibnu Khaldun
jenis pemerintahan yang ada dalam praktek itu
ada dua macam, yaitu pemerintahan yang
berdasarkan
agama
(
Siyasah Diniyah)
dan
pemerintahan
yang
berdasarkan
politik
rasional
(
Siyasah ‘Aqliyah).
Perbedaan
yang menonjol
dari
kedua
bentuk
pemerintahan
itu adalah
hukum-hukum
pada
pemerintahan
yang berdasarkan
agama
yaitu wahyu
Tuhan yang
disampaikan kepada
dan
oleh Nabi Muhammad
saw, sedangkan
hukum-hukum pada pemerintahan politik rasional berdasarkan pemikiran dan
pendapat petinggi negara atau intelektual-intelektual negara tersebut.
Menurut
Ibnu Khaldun,
pemerintahan
yang
berdasarkan wahyu jauh
lebih baik daripada pemerintahan yang
berdasarkan rasio saja, karena pemerintahan yang berdasarkan wahyu berguna
untuk dunia dan akhirat, sedangkan pemerintahan yang berdasarkan rasio saja
hanya berguna untuk dunia semata.
Namun
demikian tidak lantas wahyu harus diterapkan secara tekstual-skriptual,
pemerintahan berdasarkan wahyu bukan berarti dipahami sebagai kewajiban
formalisasi syari'at. Karena Imam Syafi’i menyatakan;
لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ
|
“Tidak ada politik melainkan apa yang sesuai
dengan syariat.”
|
Ibnu Qayyim menjelaskan ungkapan
مَا وَافَقَ الشَّرْعَ di atas
bahwa yang terpenting dalam berpolitik bukanlah kesesuaianya dengan syariat
secara teks
إلَّا مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ atau tekstualis. Akan tetapi yang terpenting
tidak bertolakbelakang dengan apa yang dikehendaki syariat.
[14] Dengan kata lain kesesuaian dengan syariat bukanlah
sebagai sikap untuk memformalkan bentuk politik itu. Politik dalam bentuk
apapun tidak jadi masalah, asalkan tidak bertentangan dan dapat menjunjung
tinggi apa yang menjadi tujuan syariat, politk seperti itu juga bisa dinilai
sebagai politik yang syar’i. Cara berfikir dengan
menggunakan kaidah
مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ telah terbukti membuat agama tereduksi sedemikian rupa sehingga
agama tidak lagi mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia.
Sementara itu, pandangan diatas
tarkait dengan posisi nabi, berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Said Aqil Siradj dalam bukunya
“Tasawuf Sebagai Kritik
Sosial”. Posisi nabi baginya, bukan hanya sebagai pemimpin keagamaan,
melainkan juga memerankan diri sebagai pemimpin pemerintahan. Fungsi ganda ini
tercermin dalam sejarah pembaitan penduduk yatsrib yang disebut sebagai baiat
aqabah. Peristiwa itulah yang kemudian dijadikan patokan pandangan oleh KH.
Said Aqil Siradj bahwa pada periode
madaniyah atau pasca hijrah, posisi
nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama, melainkan juga pemimpin Negara
.
Akan
tetapi, meskipun Nabi juga dapat dikatakan sebagai pemimpin kenegaraan. Namun
demikian, perlu dicatat, nabi tidak pernah mengharuskan untuk membentuk suatu
negara dengan pola paten seperti yang diklaim oleh kelompok yang getol
mengusung ide tentang khalifah. Bahkan, Ijma' sahabat pun juga demikian,
tidaklah tegas berbicara mengenai pola kepemimpinan model khilafah. Ijma'
yang digulirkan oleh para sahabat pada saat menjadikan Abu Bakar sebagai
pemimpin pengganti Nabi, hanya berkenaan dengan kewajiban mendirikan seorang
pemimpin (nashbu al-imamah) bukan berkenaan sistem model pemerintahan
dengan pola khilafah.
Khilafah sebagai solusi
Mendirikan sebuah kepemimpinan
dalam tatanan kehidupan memanglah merupakan sebuah keharusan demi untuk
mewujudkan cita kemaslahatan dalam tatanan sosial agar tidak memihak pada kaum
mayoritas. Namun demikian tidak lantas berarti mendirikan
kepemimpinan harus dengan satu model yang dikenal dengan khilafah. Pemimpin
dapat beraneka ragam sesuai dengan kondisi bagaimana Negara itu mengambil
keputusan yang terbaik untuk masyarakatnya.
Berbagai bukti
konkrit yang ditinjau dari segi manapun, konsep khilafah sangat sulit sekali
diterima. Sisi normatif yang digunakan sebagai acuan hukum pun tidak ada yang
secara eksplisit mewajibkanya. Hal ini wajar, karena sejatinya islam tidak
mengharuskan untuk menerapkan sebuah sitem kepemimpinan dengan model tertentu.
Akan tetapi, islam mengharuskan untuk menegakkan keadilan. Karenanya, dari premis diatas dapat
disimpulkan bahwa, pemerintahan atau kepemimpinan tidak harus berbentuk
khilafah, akan tetapi dapat beraneka ragam. Entah kerajaan, republik, atau
dengan bentuk yang lain asalkan dapat menegakkan prinsip-prinsip islam, yaitu
keadilan ('adalah), kebebasan (hurriyah), persaudaraan (ukhuwah),
jaminan sosial (takaful), martabat kemuliyaan (karomah), amanah
dan musyawarah.
Dari sini timbul
pertanyan, bukankah kalau khilafah berdiri ummat islam akan bersatu dalam ikatan persaudaraan? Bukankah khilafah
adalah solusi dari masalah ummat? Dengan adanya khilafah
bukankah keadilan dapat ditegakkan? Lantas kenapa harus ditolak?
Pemerintahan dengan menggunakan
sistem model khilafah sama sekali tidak menjamin akan tegaknya nilai-nilai
keislaman —keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan
dan kasih sayang—. Kekhilafahan Islam —pasca khulafa
ar-rasyidin— dalam realitas sejarahnya justru
mencerminkan kedzaliman, kesewenangan, perpecahan,
dan penganiayaan. Lebih dari itu, sistem
khalifah berpotensi terjadinya nepotisme kekuasaan sebagaimana yang terjadi
pada dinasti Umayyah (dinasti islam pertama yang dimulai dari masa pemerintahan
Mu’awiyah). Dinasti ini lebih dikenal karena menjalankan roda pemerintahan
imperium demi kepentingan sendiri, seolah-olah imperium Islam adalah milik
perorangan, dan pemerintahan mereka bersifat duniawy dan tirani. Hal inilah yang kemudian menjadi satu
diantara penyebab keruntuhan dinasti umayyah.
Sejarah
mencatat, di era kekuasaan dinasti Umayyah telah terjadi perubahan yang cukup
besar dalam bidang kenegaraan. Pola suksesi yang semula berdasarkan
syura
diganti dengan cara turun-menurun. Sikap yang sama sekali tidak mencerminkan
Islam ini yang secara alami kemudian menimbulkan kecemburuan dan rasa dendam
hingga pada akhirnya menimbulkan kerusuhan dan pemberontakan yang mengakibatkan
kehancuran dinasti tersebut. Puncaknya, pada saat Marwan II al-Himar sebagai
penguasa meninggal karena terbunuh. Setelah itu khilafah Islam berlangsung di
bawah dinasty Abbasiyah
.
Ironisnya, Sejarah
"buruk" kekhilafahan tidak berhenti pada masa Umayyah, akan tetapi
juga terjadi di masa Abbasiyah. Al-Makmun sebagai salah satu penguasa dari
dinasti Abasiyyah melakukan pemaksaan terhadap umat untuk menjadikan aliran
Mu’tazilah sebagai ideologi Negara atau yang lebih dikenal dengan peristiwa mihnah.
Peristiwa itu menimbulkan pergolakan dan berujung penganiayaan, bahkan
pembunuhan terhadap beberapa Ulama’.
Fakta diatas, menunjukkan bahwa
sistem khilafah tidaklah menjamin adanya keadilan atau pun persatuan.
Bahkan, sistem ini hanya
menimbulkan mudarat, kedzaliman, kesewenangan, perpecahan,
dan penganiayaan. Bila dikatakan khilafah dapat mempersatukan
umat Islam di dunia, pada kenyataanya dalam sejarah, justru sebaliknya,
khilafah tidak dapat mempersatukan
dunia Islam.
Akhirnya dari sini dapat
dipahami, bahwa khilafah sebagai solusi umat, pemersatu umat dan menjamin
tegaknya keadilan hanyalah merupakan jargon atau omong kosong, kalau tidak
hanya merupakan ilusi dan mimpi belaka.