Kamis, 20 November 2014

ILUSI KHILAFAH

ILUSI KHILAFAH | Royyan Habibie Santri PP. Besuk-Pasuruan

      Islam mempunyai prinsip-prinsip yang menjadi pondasi bagi pembangunan masyarakat manusia yang bersaudara, karena Islam menyadari bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan sesuai sunnatullah dengan keyakinan apapun pastilah hidup dengan cara  berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbangsa dan bersuku, bukan untuk saling bermusuhan dan saling membenci. Fitrah manusia dalam membangun hubungan antar sesamanya adalah fitrah kehidupan dengan penuh damai dan dalam ikatan persaudaraan. Konflik antara suku Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam (jahiliyah) adalah akibat tatanan masyarakat tribalisme (kesukuan) yang oleh Nabi diakhiri dengan prinsip persamaan, keadilan dan persaudaraan. 
     Namun prinsip keadilan yang menjadi muara semua prinsip diatas, karena keadilan menjadi tujuan akhir seluruh ajaran Islam.

      135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS; an-Nisa' 135)

      Berkenaan dengan keadilan ini, Dr. Yusuf al-Qardawiy dalam kitabnya Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyuduh menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan prinsip keadilan itu adalah menuntut manusia untuk selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin diberlakukan tidak adil (dzulmu)[1]. Keadilan yang dimaksud adalah adil dalam hal apapun dan kepada siapapun meski kecenderungan dan keinginan batin menuntut yang lain. Tidak terkecuali kepada orang yang berbeda keyakinan[2]. Sebab al-Quran sendiri memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan, bahkan keadilan kepada orang yang memerangi kita sekalipun.

      190. dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS: Al-Baqarah 190)

      Pada titik inilah kewajiban mengangkat khilafah dalam konsep fiqh siyasah klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok sekecil apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya pemimpin, mereka yang kuat akan menindas yang lemah, mereka yang mayoritas akan menindas yang minoritas[3]. Oleh sebab itu, mengapa Nabi memerintahkan setiap rombongan musafir untuk mengangkat amir (pemimpin) guna mengatur urusan mereka selama dalam perjalanan. Seorang pemimpin diangkat karena diidealkan, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah al-Hadits

"Pemimpin adalah bayangan Allah di bumi".

      Pemimpin adalah tempat berlindungnya orang-orang teraniaya untuk mendapatkan hak-haknya. Untuk tujuan itu juga mengapa kemudian pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah dan sepakat (konsensus/ijma') untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi[4]. Dan oleh sebab itu pula mengapa para mayoritas Ulama memberikan fatwa fardhu kifayah (kewajiban yang bersifat komunal) bagi tegaknya kepemimpinan dalam tata kehidupan manusia.
      Salah seorang Ulama yang berpengaruh tentang legitimasi teoritis politik Islam, Imam al-Mawardi  dalam kitabnya "al-ahkam as-sulthaniyah" memberikan penegasan mengenai hal di atas, bahwa sistem kepemimpinan atau kepemerintahan sejatinya adalah term yang tidak bisa lepas dari fiqh siyasah. Pemimpin diposisikan sebagai bangunan suatu tatanan pranata  sosial yang telah menjadi penyangga pilar suatu kepemerintahan. Mengangkat pemimpin adalah sebuah perwujudan ideal untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, adil, damai dan sejahtera.[5] Sehingga ketika  eksistensi dari al-imamah telah mengalami distorsi dan kevakuman oleh masyarakat, maka hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk atas kontinuitas agama maupun kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu mengangkat imam adalah wajib adanya.
      Selain al-Mawardi, salah seorang ulama populer sunni, Imam al-Ghazali juga mengemukakan pandanganya mengenai masalah kepemimpinan. Dalam kitabnya " al-Iqtishad fi al-I’tiqad " al-Ghazali berpandangan, bahwa ketertiban agama (nidzam ad-din) tidak akan terwujud bila tidak ada ketertiban poltik (imamah), bagi al-Ghazali ketertiban, kesehjetaraan, kedamaian agama harus melalui jalur kepemimpinan yang dibahasakan dengan imamah[6].

أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا، ونظام الدنيا لا يحصل إلا بإمام مطاع

      Hal tersebut dapat dipahami, bahwa secara subtansial yang hendak dilindungi dari kewajiban mengangkat seorang pemimpin dalam pandangan al-Mawardi ataupun al-Ghazali adalah, wujudnya tatanan sosial, keadilan yang merupakan prinsip agama.
      Sebuah pandangan senada juga pernah dikemukakan oleh tokoh intelektual NU  Abdurrahman Wahid. Dengan membawa adagium populer “(la islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi thaah)” ia memberikan satu pandangannya berkenaan dengan kepemimpinan. Menurutnya, dari adagium itu tampak jelas arti pemimpin bagi Islam, bahwa terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dengan konsep Negara dalam pandangan Islam. Sebab, pemimpin dalam pandangan Islam adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakkan prinsip-prinsip Islam[7].
      Seluruh Ulama sunni sepakat mengenai kewajiban untuk mengangkat pemimpin dalam tata kehidupan manusia. Namun meski demikian, tidak kemudian Ulama —kalangan sunni— menentukan bagaimana pola pemimpin yang harus ditegakkan. Harus berbentuk khalifah, sulthan, raja, atau presiden? Yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat pemimpin bukan berarti hanya dipahami sempit dengan kepemimpinan dengan pola khilafah sebagaimana yang dipahami oleh kalangan fundamentalis. Kalangan fundamentalis dalam hal ini, Taqiyudin Ahmad Ibn Taimiyah mengemukakan pendapatnya dalam sebuah karya yang utuh Siyasah as-Syar'iyah, menurutnya, sistem khalifah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model khilafah. Selain ibnu Taimiyah, salah seorang pemikir kanan literalis dan skripturalis yang merupakan murid ulama kontemporer terkemuka Muhammad Abduh, yaitu Rasyid Ridla juga berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Pendapat inilah yang kemudian digunakan pegangan oleh kalangan fundamentalis. Namun, sistem khalifah yang juga dikuatkan oleh Rasyid Ridla ini, pada akhirnya hanyalah sebuah ilusi dan mimpi belaka, apalagi jika hanya membatasi diri pada satu sistem tersebut.
      Bagi kalangan sunni, ajaran islam dalam persoalan kepemimpinan tidak berkait dengan istilah-istilah, nama atau gelar-gelar, namun islam berhubungan dengan makna dan subtansi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsir maqashidi-nya[8]. Untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa kepala negara atau sultan secara subtantif juga disebut sebagai Khalifah.

ومن ذلك قيل السلطان الاعظم: خليفة, لانه خلف الذي كان قبله, فقام مقامه

      Disamping itu, para Ulama sunni juga menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan pola Khilafah hanya berlangsung selama tiga puluh tahun. Masa 30 tahun itu dihitung mulai Khilafah Abu Bakar selama 2 tahun, lalu Umar selama 10 tahun lebih, berikutnya Utsman selama hampir 12 tahun dan diakhiri oleh Ali selama hampir 5 tahun. Setelah 30 tahun dari wafat Nabi, selesailah masa khilafah. Dalam hal ini, teolog dari golongan ahl sunnah wal jama’ah Imam Najmuddin An-Nasafi menjelaskan dalam al-Aqidatun Nasafiyyah:

والخلافة ثلاثون سنة ثم بعدها ملك وامارة
"khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu kerajaan dan keemiran." [9]

Analisa terhadap dalil kewajiban menegakkan khalifah
      Di tinjau dari segi dalil, kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola model khilafah memang hampir tidak ada yang secara tegas menyinggung hal tersebut, baik di dalam al-Quran, al-Hadits atau konsesus (ijma’) sahabat. Dalil yang digunakan sebagai argumentasi untuk mendukung wacana khilafah wajib ditegakkan adalah sebagai berikut:

            49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (al-Maidah: 49)

      Ayat ini dalam satu rangkaian kecaman terhadap siapapun yang mengamalkan agama secara parsial, hanya memilih sesuai dengan kepentingan dan kecendurungan pribadinya, bahkan memutar balikan pesan agama semata demi kepentingan kelompoknya. Di tangan kelompok fundamentalis ayat ini keliru dipahami sebagai dalil formalisasi syariat dan bentuk negara dengan pola kepemimpinan khilafah.

            59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS, an-Nisa': 59)

      Ayat tersebut merupakan seruan perintah kepada  kaum Muslimin untuk taat serta loyal kepada Imam . Sedangkan ketaatan itu, tidak akan terwujud kecuali terlebih dahulu mengangkat Imam sebagai orang yang mengatur dan memberlakukan prinsip-prinsip Islam di tengah umat. Sehingga konteks ayat diatas murni bicara mengenai nasbhu al-imamah, bukan khilafah.

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميته جاهلية
“barangsiapa mati dan di lehernya tidak terdapat bai’at maka orang tersebut mati sebagaimana kematian orang jahiliyah”

      Hadits ini disampaikan hanya dalam konteks kewajiban mendirikan seorang pemimpin, bukan dalam konteks kewajiban mendirikan pemimpin dengan pola khilafah. Karena, hanya orang bodoh (jahiliyah) yang tidak mempunyahi pemimpin dalam tatanan sosial, tanpa pemerintahan. [10]
      Walaupun bahasa yang digunakan adalah istilah seperti ulil amri, imam, baiat. Akan tetapi, sama sekali tidak ada yang tegas menginstruksikan membentuk suatu negara dengan kepemimpinan model khilafah. Disini menarik untuk mengutip pendapat Ali Abd Raziq mengenai otoritas Nabi terhadap umatnya. Dan dari pendapatnya tersebut kita dapat memahami mengapa dalam Islam tidak ada satupun dalil yang membicarakan mengenai pola model politik yang harus diterapkan.
      Menurut Ali Abd Raziq, Nabi Muhammad SAW. semata-mata adalah seorang Rasul saja yang punya misi mendakwahkan ajarannya, dan tidak bermaksud untuk mendirikan Negara, serta tidak mempunyai kekuasaan duniawi maupun pemerintahan, terlebih mendirikan kerajaan[11].  Senada dengan Ali Abd Raziq, adalah sosiolog muslim Ibnu Khaldun, beliau mengungkapkan bahwa Nabi adalah seorang Rasul yang diutus untuk kepentingan syariat, bukan untuk mengajari masalah kedokteran atau hal-hal urusan dunia lainya[12] (termasuk politik). Berkaiatan dengan urusan duniawi ini Nabi memberikan suatu pernyataan;

أَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“kalian lebih mengerti mengenai urusan dunia kalian”

            Dengan demikian berarti secara tidak langsung bagi Abd Raziq dan Ibnu Khaldun, politik bukanlah merupakan bagian dari ajaran keagamaan secara formal. Politik merupakan urusan duniawi yang terus akan mengalami dinamismenya. Sehingga urusanya diserahkan penuh pada umat untuk menentukan model politik bagaimana yang akan diterapkan. Asalkan tetap dalam kontrol agama. Menurut  Ibnu Khaldun  jenis pemerintahan yang ada dalam praktek itu  ada dua macam, yaitu pemerintahan yang berdasarkan  agama  (Siyasah Diniyah)  dan  pemerintahan  yang  berdasarkan  politik  rasional  (Siyasah ‘Aqliyah).  Perbedaan  yang menonjol  dari  kedua  bentuk  pemerintahan  itu adalah  hukum-hukum  pada  pemerintahan  yang berdasarkan  agama  yaitu wahyu  Tuhan yang  disampaikan kepada  dan  oleh Nabi Muhammad  saw, sedangkan hukum-hukum pada pemerintahan politik rasional berdasarkan pemikiran dan pendapat petinggi negara atau intelektual-intelektual negara tersebut. Menurut  Ibnu Khaldun,  pemerintahan  yang  berdasarkan wahyu jauh  lebih baik daripada pemerintahan yang berdasarkan rasio saja, karena pemerintahan yang berdasarkan wahyu berguna untuk dunia dan akhirat, sedangkan pemerintahan yang berdasarkan rasio saja hanya berguna untuk dunia semata.[13] Namun demikian tidak lantas wahyu harus diterapkan secara tekstual-skriptual, pemerintahan berdasarkan wahyu bukan berarti dipahami sebagai kewajiban formalisasi syari'at. Karena Imam Syafi’i menyatakan;

لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ
Tidak ada politik melainkan apa yang sesuai dengan syariat.

      Ibnu Qayyim menjelaskan ungkapan مَا وَافَقَ الشَّرْعَ di atas bahwa yang terpenting dalam berpolitik bukanlah kesesuaianya dengan syariat secara teks إلَّا مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ atau tekstualis. Akan tetapi yang terpenting tidak bertolakbelakang dengan apa yang dikehendaki syariat.[14] Dengan kata lain kesesuaian dengan syariat bukanlah sebagai sikap untuk memformalkan bentuk politik itu. Politik dalam bentuk apapun tidak jadi masalah, asalkan tidak bertentangan dan dapat menjunjung tinggi apa yang menjadi tujuan syariat, politk seperti itu juga bisa dinilai sebagai politik yang syar’i. Cara berfikir dengan menggunakan kaidah مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ telah terbukti membuat agama tereduksi sedemikian rupa sehingga agama tidak lagi mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia.
      Sementara itu, pandangan diatas tarkait dengan posisi nabi, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Said Aqil Siradj dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”. Posisi nabi baginya, bukan hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga memerankan diri sebagai pemimpin pemerintahan. Fungsi ganda ini tercermin dalam sejarah pembaitan penduduk yatsrib yang disebut sebagai baiat aqabah. Peristiwa itulah yang kemudian dijadikan patokan pandangan oleh KH. Said Aqil Siradj bahwa pada periode madaniyah atau pasca hijrah, posisi nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama, melainkan juga pemimpin Negara[15].
      Akan tetapi, meskipun Nabi juga dapat dikatakan sebagai pemimpin kenegaraan. Namun demikian, perlu dicatat, nabi tidak pernah mengharuskan untuk membentuk suatu negara dengan pola paten seperti yang diklaim oleh kelompok yang getol mengusung ide tentang khalifah. Bahkan, Ijma' sahabat pun juga demikian, tidaklah tegas berbicara mengenai pola kepemimpinan model khilafah. Ijma' yang digulirkan oleh para sahabat pada saat menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin pengganti Nabi, hanya berkenaan dengan kewajiban mendirikan seorang pemimpin (nashbu al-imamah) bukan berkenaan sistem model pemerintahan dengan pola khilafah.

Khilafah sebagai solusi
      Mendirikan sebuah kepemimpinan dalam tatanan kehidupan memanglah merupakan sebuah keharusan demi untuk mewujudkan cita kemaslahatan dalam tatanan sosial agar tidak memihak pada kaum mayoritas. Namun demikian tidak lantas berarti mendirikan kepemimpinan harus dengan satu model yang dikenal dengan khilafah. Pemimpin dapat beraneka ragam sesuai dengan kondisi bagaimana Negara itu mengambil keputusan yang terbaik untuk masyarakatnya.
      Berbagai bukti konkrit yang ditinjau dari segi manapun, konsep khilafah sangat sulit sekali diterima. Sisi normatif yang digunakan sebagai acuan hukum pun tidak ada yang secara eksplisit mewajibkanya. Hal ini wajar, karena sejatinya islam tidak mengharuskan untuk menerapkan sebuah sitem kepemimpinan dengan model tertentu. Akan tetapi, islam mengharuskan untuk menegakkan  keadilan. Karenanya, dari premis diatas dapat disimpulkan bahwa, pemerintahan atau kepemimpinan tidak harus berbentuk khilafah, akan tetapi dapat beraneka ragam. Entah kerajaan, republik, atau dengan bentuk yang lain asalkan dapat menegakkan prinsip-prinsip islam, yaitu keadilan ('adalah), kebebasan (hurriyah), persaudaraan (ukhuwah), jaminan sosial (takaful), martabat kemuliyaan (karomah), amanah dan musyawarah.
      Dari sini timbul pertanyan, bukankah kalau khilafah berdiri ummat islam akan bersatu dalam ikatan persaudaraan? Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Dengan adanya khilafah bukankah keadilan dapat ditegakkan? Lantas kenapa harus ditolak?
      Pemerintahan dengan menggunakan sistem model khilafah sama sekali tidak menjamin akan tegaknya nilai-nilai keislaman —keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan dan  kasih  sayang—. Kekhilafahan Islam —pasca khulafa ar-rasyidin  dalam  realitas sejarahnya justru mencerminkan  kedzaliman,  kesewenangan,  perpecahan,  dan  penganiayaan. Lebih dari itu, sistem khalifah berpotensi terjadinya nepotisme kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada dinasti Umayyah (dinasti islam pertama yang dimulai dari masa pemerintahan Mu’awiyah). Dinasti ini lebih dikenal karena menjalankan roda pemerintahan imperium demi kepentingan sendiri, seolah-olah imperium Islam adalah milik perorangan, dan pemerintahan mereka bersifat duniawy dan tirani.  Hal inilah yang kemudian menjadi satu diantara penyebab keruntuhan dinasti umayyah.
      Sejarah mencatat, di era kekuasaan dinasti Umayyah telah terjadi perubahan yang cukup besar dalam bidang kenegaraan. Pola suksesi yang semula berdasarkan syura diganti dengan cara turun-menurun. Sikap yang sama sekali tidak mencerminkan Islam ini yang secara alami kemudian menimbulkan kecemburuan dan rasa dendam hingga pada akhirnya menimbulkan kerusuhan dan pemberontakan yang mengakibatkan kehancuran dinasti tersebut. Puncaknya, pada saat Marwan II al-Himar sebagai penguasa meninggal karena terbunuh. Setelah itu khilafah Islam berlangsung di bawah dinasty Abbasiyah[16].
      Ironisnya, Sejarah "buruk" kekhilafahan tidak berhenti pada masa Umayyah, akan tetapi juga terjadi di masa Abbasiyah. Al-Makmun sebagai salah satu penguasa dari dinasti Abasiyyah melakukan pemaksaan terhadap umat untuk menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai ideologi Negara atau yang lebih dikenal dengan peristiwa mihnah. Peristiwa itu menimbulkan pergolakan dan berujung penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap beberapa Ulama’.
      Fakta diatas, menunjukkan bahwa sistem khilafah tidaklah menjamin adanya keadilan atau pun persatuan. Bahkan,  sistem  ini hanya  menimbulkan  mudarat, kedzaliman,  kesewenangan,  perpecahan,  dan  penganiayaan. Bila dikatakan khilafah dapat mempersatukan umat Islam di dunia, pada kenyataanya dalam sejarah, justru sebaliknya, khilafah  tidak dapat mempersatukan dunia  Islam.
      Akhirnya dari sini dapat dipahami, bahwa khilafah sebagai solusi umat, pemersatu umat dan menjamin tegaknya keadilan hanyalah merupakan jargon atau omong kosong, kalau tidak hanya merupakan ilusi dan mimpi belaka.



[1] Dr. Yusuf al-Qardawi. Malaamihu al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyuduh (Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah) Pdf cet. 1, januari 1997 Citra Islami Press hal. 108.
[2] Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (cet-4, april 2012 SAS Foundation) hal. 144
[3] Munawwar Fuad Noeh – Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.) hal. 95
[4] Husein Afandi, Husun al-Hamidiyah, hal.204
[5] Al-Mawardi. Al-ahkam as-shulthaniyah. hal. 6
[6] Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Shamela)  hal. 75 vol. 1
[7] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (cet-1 agustus 2006, The Wahid Institute) hal. 96
[8] Ibnu Asyur, at-Tahwir wa at-Tanwir, (maktabah syamelah) hal. 228 vol. 3
[9] Abdullah al-Harari al-Habasyi, al-Mathalib al-Wafiyah Syarh al-'Aqidah al-Nasafiyyah, hal. 143
[10] Lihat, Ilusi Negara Islam. hal 196
[11] Ali Abd ar-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukmi (tanpa terbitan: cet-3 1925 M. )  hal. 71-80
[12] Dr. Hani Ahmad Faqih, Fiqh at-Ta'ayusy wa at-Tajdid. (cet.1 2010 dar al-fath.) hal. 149 / Ibn Khaldun, Muqadimah ibn Khaldun. hal. 494
[13] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006), 150-151.
[14] Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, at-Thuruq al-Hukmi fi al-Siyasah al-Syar’iyyah (Shamela), hlm 16.
[15] Said Aqil Siradj, Op.cit hal. 136
[16] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta) cet ke-3 2012 hal. 419-420