Kamis, 07 Februari 2019

CERPEN: Pria Tua yang Sedang Menulis Takdir

Di sebuah kedai kopi yang menyajikan pemandangan laut –
Ada yang tiba-tiba mengganggu pikiranku. Saat aku terlena dalam bayangan, perhatianku mendadak tertuju pada pria tua yang tak jauh hanya berjarak beberapa meja dariku. Pria tua yang sejak tadi termenung memandangi laptop itu secara tidak sengaja terlihat olehku tiba-tiba menangis. Air matanya meleleh.
Sembunyi-sembunyi aku memperhatikan pria tua itu. Tingkahnya agak aneh, seperti orang dengan banyak beban masalah. Mungkin saja masalah pekerjaan yang menuntut dirinya untuk menyelesaikan sebuah tulisan, atau barangkali sebuah laporan, entahlah. Sejenak tangannya dengan gemetar ditaruh di keyboard laptop seperti hendak menuliskan sesuatu, tapi kemudian melepasakannya, tidak jadi.  Begitu terus diulang-ulang, lalu sesekali memandang jauh ke arah laut.
Ah sudahlah, sama sekali tak penting pikirku, apa urusannya denganku. Aku disini hanya ingin membuang penat.

**
Dua hari kemudian, aku bermaksud ke kedai kopi yang sama. Sebuah kedai kopi yang terletak di jalan pantura. Barangkali, karena lokasi yang berdekatan dengan laut itu, aku berpikiran tempat tersebut merupakan sumber inspirasi. Pemandangan laut dan senja yang memanjakan mata saat sore hari menjadikan kedai kopi itu tempatku sebagai pelepas penat untuk sekadar menulis, membaca dan sekaligus tempat penantian atas keindahan sekejap. Ya senja, ah betapa ia mengajariku bahwa keindahan itu hanya sebentar kemudian hilang ditelan gelap. Senjakala, bagiku adalah saat keseimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi dan kemudian gelap berkuasa atas bumi yang kupijak dan lenyaplah keindahan.
Bau khas kopi semerbak saat aku melangkah masuk kedai. Langkahku gontai akibat letih dari pekerjaan hari ini yang menumpuk. Agak lelah sebenarnya. Akan tetapi, pikirku, sedikit asupan kopi seteguk dua teguk barangkali bisa membuatku semangat kembali. Sukur-sukur bisa menulis satu dua puisi untuk kekasihku. Suasana agaknya cukup sepi dan tenang hari ini. Senja pun indah menjuntai. Sebuah kombinasi yang pas.
Tapi, sialan! orang tua itu bertengger lagi di meja seperti dua hari lalu. Masih dengan laptop dan wajah yang menyimpan beribu gelisah. Aneh.
**
Pria tua itu masih terlihat gelisah. Sesekali menyeruput kopi kemudian dilanjut hendak mengetik namun tak jadi, seolah hilang begitu saja kata yang telah dirangkai di kepalanya.
Setelah agak lama aku memperhatikannya. Tiba-tiba pria tua itu memandangku. Pandangannya tajam serupa ingin menerkam. Tapi tak berlangsung lama pandangan itu kemudian berubah menggambarkan kesedihan, sedih yang mendalam. Dengan tatapan yang masih ke arahku, terlihat air mata mengalir pelan dari matanya yang gelisah. Aneh sekali orang ini. Pikirku. Aku benar-benar tak tahan dengan tingkahnya.
Aku coba beranikan diri menghampiri pria tua di pojok itu. Dia terlihat menunduk seolah tertindih beban kesedihan yang mendera kehidupannya. Beban yang begitu berat.
“Maaf, bapak sedang apa?”
Pria tua itu tersentak mendapat pertanyaan yang tiba-tiba saat ia tertunduk lesuh. Dengan gelagapan ia menjawab “Saya hanya sedang menulis sebuah cerita pendek.”
“Boleh saya membaca tulisan bapak”
Disodorkannya laptop yang sejak tadi di depannya kepadaku. “Silahkan.”
Saat laptopnya disodorkan kepadaku, aku mengambil tempat duduk tepat disamping pria tua itu. Aku mulai membaca. Untuk menyingkat waktu, dan karena kemalasanku, aku hanya membaca tulisan di paragraf bagian akhir.
“Tak disangka, seberapa dalam hubungan antara keduanya, siapa pula yang bisa melawan takdir. Kematian itu memisahkan keduanya ketika secara tiba-tiba kecelakaan maut menjemput. Sang wanita yang menanti pertemuan di sebuah kedai melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana kematian menjemput kekasihnya di depan jalan tempat ia menanti pujaannya itu”.
Setelah sekilas membaca, tiba-tiba di luar kedai terdengar suara keras yang mengagetkan. Seperti suara benda keras terjatuh. Tak berapa lama para pelayan kedai dan beberapa pengunjung langsung berhamburan mendekat ke koridor kedai untuk melihat apa yang sedang terjadi. Termasuk aku. Sebuah kecelakaan terjadi. Mobil terpelanting, remuk berada di bawah truck Fuso. Dari kejauhan secara samar-samar, terlihat plat nopol mobil yang remuk itu. Kubaca dengan teliti. S 222 ARS. Tiba-tiba aku merasa sunyi, mendadak lemas kemudian gelap. 

Selasa, 05 Februari 2019

Kegilaan dan Kelucuan Beragama Ala Don Quixote | Moch. Royyan Habibi

Salah seorang penyair kenamaan, Goenawan Mohammad, dalam salah satu bukunya yang mendedahkan sebuah telaah atas karya Miguel de Cervantes menyatakan bahwa kisah dalam novel berumur 400 tahun dengan judul Don Quixote merupakan “kisah kocak yang menyimpan sesuatu yang tak bahagia”. Senada dengan Goenawan, penyair asal Inggris, Lord Byron juga menyatakan hal yang sama, “Inilah (Don Quixote) cerita paling sedih dari semua cerita. Dan lebih menyedihkan karena ia membuat kita tertawa.”

Di satu sisi, Don Quixote menggambarkan sebuah kesedihan dan rasa belas kasihan. Namun di sisi lain, ia memuat kelucuan, ketololan, kekonyolan, dan kegilaan yang membuat orang tertawa.

Don Quixote adalah sebuah novel klasik karya Miguel de Cervantes yang menceritakan tentang seorang lelaki dari salah satu dusun terpencil di Spanyol pada abad 17. Ia tergila-gila pada buku-buku cerita fiksi tentang kesatria kelana yang memang sedang laris menemukan pembacanya pada waktu itu. Kegemarannya pada cerita fiksi tentang kesatria kelana itu membuatnya terobsesi dan menjadikannya sebagai orang majenun: ia merasa betul-betul menjadi kesatria kelana yang ke mana-mana menunggang kuda dengan mengenakan baju zirah. Ia juga berfantasi sedang berpetualang melawan musuh-musuh imajinernya. Kincir angin dianggapnya raksasa. Ia menyerang “musuh” itu secara membabi buta.

Apa yang menimpa Don Quixote, meski terdengar menggelikan hati lantaran tingkah-tingkah konyolnya, tanpa kita sadari telah banyak menyeruak dan tergambar dalam ekspresi keagamaan sebagian besar orang hingga hari ini. Ekspresi keagamaan yang tampak begitu mirip dengan kegilaan Don Quixote. Keduanya sama-sama membuat imajinasi-imajinasi yang terkadang terlihat menyedihkan, namun di lain waktu juga terlihat menggelikan.

Kegilaan dan “keimanan” mungkin memang tampak begitu mirip bagi sebagian orang. Keduanya sama-sama merayakan kepercayaan pada sesuatu yang tak tampak, sesuatu yang dibayangkan. Sesuatu yang Devine, Makro-Kosmologi-Teosentris.

Atas nalar tersebut, Robert M. Pirsig, penulis Zen and the Art of Motorcycle yang dikutip oleh seorang ateis tulen, Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion, dengan jemawa mempersepsikan bahwa “Ketika satu orang menderita delusi, hal itu disebut kegilaan, dan ketika banyak orang yang menderita delusi, itu adalah agama.” Kegilaan dan keimanan, dalam mata Pirsig, ditabalkan memuat “semacam keterpakuan yang sama”, yaitu keterpakuan pada delusi (khayalan). Sehingga ia, pelaku/penganutnya, tak bisa membedakan lagi antara keduanya.

Walaupun tuturan Pirsig memicu kontroversi, sebab tentu menyangkut keyakinan kita kepada Tuhan yang kita sakralkan, namun memang semakin tampak nyata di lapangan betapa ekspresi keagamaan sebagian orang beragama hari ini seruang-sebangun dengan ekspresi “kegilaan” yang murni delusional itu. Menyedihkan, tapi begitulah adanya.

Kita bisa saksikan betapa akhir-akhir ini amat berjubel orang-orang beragama yang gemar memanggungkan mata yang nanar dan tangan mengepal, menunjukkan kemarahan yang tak pantas dan bahkan melakukan tindakan destruktif pada apa yang dianggapnya “musuh” atau “sesat”. Mereka menganggap liyan semuanya adalah musuh, padahal tentu saja nalar sehat kita memafhumi betapa mereka sendirilah yang sebenarnya menciptakan musuh dalam tempurung kepala mereka sendiri. Dalam benak mereka, seolah ada yang mengharuskan mereka untuk selalu siap siaga menghindari atau bahkan melakukan serangan kepada liyan. Minimal, memandang universalitas dunia ini dengan penuh rasa curiga.

Tak terhindarkan lalu terbentuklah sebuah conflict-mindset; cara berpikir yang menganggap dunia dalam suatu konflik, yang dengan ringan tak masuk akal ditashih dengan klaim-klaim delusional yang miris sekaligus menggelikan, seperti konspirasi zionis, perang proxy, kebangkitan komunis, dll. Mereka menciptakan ketakutan-ketakutan pada diri sendiri dan kemudian memberhalakannya seolah kenyataan yang mengerikan. Mereka hidup di bawah kungkungan bayang-bayang suatu keadaan buruk yang sebenarnya tidak ada dan semata hanya khayalan.  Sungguh sebuah delusi yang menghimpit sepenuh jeri!

Sangat mungkin memang, obsesi delusional itu dipantik oleh kegemaran mereka berpegang teguh pada kitab-kitab klasik yang ditulis dalam konteks peperangan atas nama agama atau suatu masa ketika antaragama saling berhadap-hadapan di medan laga, peperangan yang benar-benar nyata. Konteks itu kemudian mereka elaborasi secara delusional pada hari ini dan diseret terus ke masa sekarang, yang jelas sekali sangat jauh berbeda situasinya.

Sungguh menyedihkan dan sekaligus menggelikan. Alih-alih membela agama, pada kenyataannya mereka hanya sedang membela obsesi delusional yang tak jauh beda dengan delusi-personal Don Quixote.

Saling olok, gebrak-gebrak diskriminasi, menaruh rasa curiga, menjadi bumbu-bumbu utama dalam derap langkah ekspresi keagamaan mereka. Hidup menjadi terimajinasikan sedemikian majenunnya: berlaku radikal, merugikan tidak hanya orang lain, tapi diri sendiri sekaligus. Persis kelakuan Don Quixote.

Don Quixote, novel karya Cervantes yang ditulis lebih dari 400 tahun lalu, memang dimaksudkan untuk hal majenun ini. Cervantes alih-alih melawak dengan menampilkan kekonyolan yang tak terperikan, pada dasarnya ia sedang mengolok-olok ekspresi keagamaan obsesif-delusional macam begitu yang memang meruah di masa ia hidup.

Cervantes menulis Don Quixote pada masa Spanyol sedang membangun tanah air dengan menggunakan dasar agama Katolik. Spanyol sedang diselubungi oleh aksi-aksi diskriminasi, purbasangka, bahkan kesewenang-wenangan pada yang bukan Katolik atau liyan.

Gambaran masa demikian rupanya setali-seuang dengan keadaan kita hari ini. Kita, umat beragama, kembali terselubungi oleh purbasangka obsesif-delusional pada liyan. Klaim adanya konspirasi, kebangkitan komunis, dajjal, Yahudi, serbuan China, dll., menjadi narasi yang amat familier kita dengar hari ini. Dan, lagi-lagi, itu semua sepenuhnya hanya delusi nan menggelikan.

Celakanya lagi, yang lebih menggelikan, orang dengan gejala majenun akibat ekspresi keagamaan yang obsesif-delusional, juga lebih mungkin untuk percaya kepada berita palsu (hoax). Sebagaimana digambarkan oleh Cervantes, suatu ketika Sancho Panza, salah seorang petani bodoh yang diajak Don Quixote bermain dalam dunia imajinasinya dan didaulat sebagai pengawal, mempersembahkan pada tuannya tiga perempuan peladang yang kasar bicaranya dan buruk muka. Sancho mengatakan pada tuannya, Don Quixote, bahwa yang ada di depan matanya adalah Putri Dulcinea yang terkena sihir. Kefasihan tutur Sancho membuat Don Quixote percaya begitu saja pada apa yang dikatakan olehnya.

Rawannya orang-orang dengan gejala majenun untuk percaya pada berita palsu (hoax) sepenuhnya terjelaskan dengan kecenderungan mereka untuk terlibat dalam pemikiran yang fakir analitis di satu sisi dan sekaligus terdorong aktif intensif untuk mengabarkan marabahaya-marahabaya yang harus dihindari padahal itu hanyalah delusi-delusi. Mereka sungguh rawan “terjebak” dalam khayalan-khayalan saat membaca berita, bersosial media, sehingga gampang tumbang untuk percaya begitu saja, tanpa meneliti atau menganalisis terlebih dahulu. Persis benar dengan karakter Don Quixote yang percaya penuh pada kabar bohong Sancho lantaran imajinasinya sendiri mengkhayalkan bahwa Dulciniea disihir oleh musuhnya. Ia tidak bisa menganalisis dengan jernih kualitas apa yang dikabarkan oleh pengawalnya sendiri.

Don Quixote dengan gaya olok-olok kepada orang-orang yang berlebihan dalam mengekspresikan agamanya layak betul untuk kita jadikan pengingat hari ini. Ia relevan kita jadikan nasihat atas ancaman nyata delusi-delusi obsesif yang membahayakan dan merugikan harmoni hidup kita. Agama yang asalinya untuk menebar perdamaian dan rahmat harus kita selamatkan dari ekspresi-ekspresi obsesif-delusional  yang merusak itu. Plus, agar kelak sejarah tak mencatat kita sebagai bagian dari khazanah peradaban yang majenun nan menggelikan.

Sudah pasti, satu hal lagi yang harus kita cermati dengan kritis, yakni banjir ekspansi politisasi agama. Pula komodifikasi agama. Persis  Don Quixote, aktor-aktor ini dengan sengaja mengeduk keuntungan politis dan ekonomis dari umat yang tidak kritis. Rasanya, khusus buat aktor-aktor ini, sudah tidak memadai lagi menyebutnya “kapitalis sejati”, tapi perlu ditambahkan julukan penguatnya: “para penjual ayat Tuhan yang suci”.