Di sebuah kedai kopi yang
menyajikan pemandangan laut –
Ada yang tiba-tiba
mengganggu pikiranku. Saat aku terlena dalam bayangan, perhatianku mendadak
tertuju pada pria tua yang tak jauh hanya berjarak beberapa meja dariku. Pria tua yang sejak tadi termenung
memandangi laptop itu secara tidak sengaja terlihat olehku tiba-tiba menangis.
Air matanya meleleh.
Sembunyi-sembunyi aku
memperhatikan pria tua itu. Tingkahnya agak aneh, seperti orang dengan banyak
beban masalah. Mungkin saja masalah pekerjaan yang menuntut dirinya untuk
menyelesaikan sebuah tulisan, atau barangkali sebuah laporan, entahlah. Sejenak
tangannya dengan gemetar ditaruh di keyboard laptop seperti hendak menuliskan
sesuatu, tapi kemudian melepasakannya, tidak jadi. Begitu terus diulang-ulang, lalu sesekali
memandang jauh ke arah laut.
Ah sudahlah, sama
sekali tak penting pikirku, apa urusannya denganku. Aku disini hanya ingin membuang
penat.
**
Dua hari kemudian, aku
bermaksud ke kedai kopi yang sama. Sebuah kedai kopi yang terletak di jalan
pantura. Barangkali, karena lokasi yang berdekatan dengan laut itu, aku
berpikiran tempat tersebut merupakan sumber inspirasi. Pemandangan laut dan
senja yang memanjakan mata saat sore hari menjadikan kedai kopi itu tempatku
sebagai pelepas penat untuk sekadar menulis, membaca dan sekaligus tempat
penantian atas keindahan sekejap. Ya senja, ah betapa ia mengajariku bahwa
keindahan itu hanya sebentar kemudian hilang ditelan gelap. Senjakala, bagiku
adalah saat keseimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih
ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang
jatuh ke bumi dan kemudian gelap berkuasa atas bumi yang kupijak dan lenyaplah
keindahan.
Bau khas kopi semerbak
saat aku melangkah masuk kedai. Langkahku gontai akibat letih dari pekerjaan
hari ini yang menumpuk. Agak lelah sebenarnya. Akan tetapi, pikirku, sedikit
asupan kopi seteguk dua teguk barangkali bisa membuatku semangat kembali. Sukur-sukur
bisa menulis satu dua puisi untuk kekasihku. Suasana agaknya cukup sepi dan
tenang hari ini. Senja pun indah menjuntai. Sebuah kombinasi yang pas.
Tapi, sialan! orang tua
itu bertengger lagi di meja seperti dua hari lalu. Masih dengan laptop dan
wajah yang menyimpan beribu gelisah. Aneh.
**
Pria tua itu masih
terlihat gelisah. Sesekali menyeruput kopi kemudian dilanjut hendak mengetik namun
tak jadi, seolah hilang begitu saja kata yang telah dirangkai di kepalanya.
Setelah agak lama aku
memperhatikannya. Tiba-tiba pria tua itu memandangku. Pandangannya tajam serupa
ingin menerkam. Tapi tak berlangsung lama pandangan itu kemudian berubah
menggambarkan kesedihan, sedih yang mendalam. Dengan tatapan yang masih ke
arahku, terlihat air mata mengalir pelan dari matanya yang gelisah. Aneh sekali
orang ini. Pikirku. Aku benar-benar tak tahan dengan tingkahnya.
Aku coba beranikan diri
menghampiri pria tua di pojok itu. Dia terlihat menunduk seolah tertindih beban
kesedihan yang mendera kehidupannya. Beban yang begitu berat.
“Maaf, bapak sedang
apa?”
Pria tua itu tersentak
mendapat pertanyaan yang tiba-tiba saat ia tertunduk lesuh. Dengan gelagapan ia
menjawab “Saya hanya sedang menulis sebuah cerita pendek.”
“Boleh saya membaca
tulisan bapak”
Disodorkannya laptop
yang sejak tadi di depannya kepadaku. “Silahkan.”
Saat laptopnya
disodorkan kepadaku, aku mengambil tempat duduk tepat disamping pria tua itu.
Aku mulai membaca. Untuk menyingkat waktu, dan karena kemalasanku, aku hanya
membaca tulisan di paragraf bagian akhir.
“Tak disangka, seberapa
dalam hubungan antara keduanya, siapa pula yang bisa melawan takdir. Kematian
itu memisahkan keduanya ketika secara tiba-tiba kecelakaan maut menjemput. Sang
wanita yang menanti pertemuan di sebuah kedai melihat dengan kedua matanya
sendiri bagaimana kematian menjemput kekasihnya di depan jalan tempat ia
menanti pujaannya itu”.
Setelah sekilas
membaca, tiba-tiba di luar kedai terdengar suara keras yang mengagetkan.
Seperti suara benda keras terjatuh. Tak berapa lama para pelayan kedai dan
beberapa pengunjung langsung berhamburan mendekat ke koridor kedai untuk
melihat apa yang sedang terjadi. Termasuk aku. Sebuah kecelakaan terjadi. Mobil
terpelanting, remuk berada di bawah truck Fuso. Dari kejauhan secara
samar-samar, terlihat plat nopol mobil yang remuk itu. Kubaca dengan teliti. S
222 ARS. Tiba-tiba aku merasa sunyi, mendadak lemas kemudian gelap.