Royyan Habibie - Santri PP. Raudlatul Ulum Besuk
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat urgent dalam memajukan kualitas manusia. Dalam skala yang lebih luas, maju mundurnya suatu Negara dapat diukur dari seberapa maju kualitas pendidikan di dalamnya. Dan begitu juga sebaliknya, kebobrokan suatu Negara dapat diukur dari seberapa bobroknya kualitas pendidikan di Negara itu. KH. Musthofa Bishri pernah mengatakan pada saat beliau ditanya mengenai keberhasilan pendidikan di Negara Indonesia ini. Beliau menjawab "apakah kita sudah puas dengan kinerja pejabat kita. Kalau sudah puas, berarti pendidikan kita sudah terselenggara dengan baik. Karena pejabat kita itu merupakan hasil dari produk pendidikan di Negara ini".
Sementara, sudah bukan rahasia lagi bahwa fenomena yang menggejala dewasa ini, mengindikasikan bahwa pendidikan kita mengarah pada (untuk tidak mengatakan gagal secara total) terselenggara dengan kurang baik. Banyak generasi maupun pejabat kita yang terdidik dengan sangat baik dan diharapkan bisa mentransformasikan nilai-nilai luhur, justru mempertontonkan perilaku yang tidak layak dan bertentangan dengan moral (agama). Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme marak terjadi di segala lini pemerintahan, tawuran antar pelajar, kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru, dan bahkan video mesum pelajar seringkali masih menghiasi media masa di Negara ini.
Hal itu menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Mengapa semacam itu bisa terjadi pada orang-orang yang terdidik di Negara ini? apakah benar pendidikan di Negara ini telah gagal? lantas apa yang menjadi penyebab kegagalan itu?
Jika melihat maraknya praktek korupsi, kekeresan, perilaku mesum dan lain sebagainya dilakukan oleh orang-orang yang terdidik di Negara ini. Maka tidak salah ada beberapa orang yang beranggapan bahwa penyakit-penyakit tersebut merupakan satu efek dari carut-marut dan kegagalan sistem pendidikan kita. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah-satunya adalah belum terealisasinya sistem pendidikan yang menyeluruh, tepat guna dan sasaran. Pendidikan yang diupayakan dewasa ini hanya dimaknai sebagai lembaga pengembangan intelektual. Peserta didik hanya akan diproyeksikan sebagai insan-insan yang memiliki daya nalar dan kritis, sementara aspek spiritual mereka kurang mendapatkan perhatian. Sehingga, pendidikan yang berjalan tidak seimbang.
Lalu solusi apakah yang tepat untuk mengatasi ketidak seimbangan itu? apakah pesantren yang digadang-gadang sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tujuan mengubah tata-nilai dan struktur masyarakat yang tidak adil dan bertentangan dengan nilai-nilai syari'at menuju kondisi yang lebih baik bisa menjadi solusi untuk problem-problem tersebut?
Kita melihat, bahwa pesantren mempunyahi keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lain. Pesantren tidak hanya memproyeksikan peserta didiknya sebagai insan yang memiliki intelektual keagamaan saja, akan tetapi di sisi lain pesantren juga memperhatikan kepribadian siswa untuk menjadi insan yang bermoral (akhlaq al-karimah).
Melihat hal itu, tentu ada kemungkinan besar sistem pendidikan pesantren dapat menjadi langkah solutif bagi problem bangsa ini. Akan tetapi yang perlu diingat, pesantren tetaplah pesantren. Di satu sisi ia memang memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lain. Tapi, di sisi yang lain pesantren juga memiliki kelemahan yang justru kelengkapanya ada di pendidikan luar pesantren. Padahal, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang serba ada. pendidikan yang mampu menciptakan apa yang dikenal dengan knowledge society, yakni masyarakat yang bekerja dengan berdasarkan ilmu pengetahuan, menyukai pendidikan dan bekerja dengan menggunakan akal pikiran disertai kuat mental spiritual yang seimbang. Sementara itu, pesantren hanya mampu concern pada aspek spiritualnya saja dan belum menyentuh bidang-bidang di luar itu.
Oleh karenanya, pesantren jika dilihat dari sisi bidang luar keagamaan, jelas tidak bisa dijadikan sebagai langkah solutif untuk mengatasi problem bangsa ini. Sebab, pesantren pada nantinya hanya akan mampu menciptakan masyarakat yang bekerja dengan disertai mental spiritual, akan tetapi tidak dibarengi dengan ilmu pengetahuan.
###
Majayuse Irone pernah mengatakan perihal model pendidikan modern yang sebelumnya telah dibicarakan oleh Peter Drucker. Bahwa pendidikan di Negara barat diasumsikan sebagai lembaga pendidikan yang mampu mewujudkan sumber daya manusia dan dengan SDM itulah akan menghantarkan terhadap kemajuan di segala bidang. seperti sains, ekonomie, politik dan lain sebagainya.
Untuk menuju kesitu, banyak yang menyarankan pesantren agar melakukan perubahan, melakukan apa yang disebut sebagai modernisasi sistem. Dalam lingkup ini, terlontar banyak gagasan dalam bingkai yang beragam. Ada yang menyarankan agar pesantren melakukan sinergi dengan pendidikan umum, karena melihat antara pesantren dan pendidikan umum sama-sama memiliki nilai plus. dan ada pula yang memiliki gagasan untuk menyatukan konsep pendidikan perguruan tinggi (PT) dan pendidikan pesantren, agar jebolan pesantren bisa bersaing dengan out-put-an perguruan tinggi.
Gagasan-gagasan semacam itu, di satu sisi memang terihat tampak menarik dan memiliki keunggulan. Namun perlu diperhatikan di sisi lain ada dampak negatif yang harus diterima oleh pesantren. Yakni, ketika pemaduan pesantren dan perguruan tinggi berjalan sekian lama, agaknya lambat laun unsur pesantren akan tergusur oleh perguruan tinggi. Kecenderungan ini bukan hanya sekedar asumsi tanpa dasar. Realiatas empiris memang menunjukkan bahwa pesantren yang memadukan konsep dengan pendidikan umum sedikit banyak telah mengalami marginalisasi unsur pesantrenya, baik dalam hal tata nilai, kode etik, dan budayanya, maupun pada level semangat mempelajari ilmu-ilmu salaf dan upaya menghidupkan kajian turats.
Oleh karenanya, pesantren tidak boleh sembrono untuk menerima gagasan-gagasan semacam di atas secara serampangan. Harus disertai dengan kritisisme terhadap konsep tersebut. Karena suatu keputusan yang diambil sebagai pilihan, tentu saja menyimpan resiko yang harus dihadapi. Dari pada itu pesantren harus menyadari mengenai dampak buruknya modernisasi tersebut. Karena bila tidak, barangkali nantinya pesantren akan kehilangan jati dirinya sebagai pendidikan yang memiliki tujuan mengembangkan intelektualitas dan mengubah tata-nilai masyarakat menuju masyarakat yang bermoral.