Kamis, 09 Oktober 2014

Mengaji Kitab Bidayah al Mujtahid

Mengaji Kitab Bidayah al Mujtahid | KH. Husein Muhammad


Semua buku Biografi tentang Ibnu Rusyd selalu menyebut Ibnu Rusyd al Hafid  pertama-tama adalah seorang filosof, pelopor rasionalisme dalam Islam, seorang dokter dan seorang ahli hukum Islam terkemuka. Tetapi ulasannya mengenai ketokohan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat jauh lebih luas dibanding bidang yang kedua dan ketiga. Tegasnya Ibnu Rusyd dalam dunia Islam sekalipun lebih dikenal sebagai filosof dibanding sebaga ahli hukum (faqih) atau lainnya. Syeikh Muhammad Wa’izh Zaadeh al Khurasani dalam makalah yang dipresentasikan pada sebuah simposium Ibnu Rusyd menyatakan dengan terus terang : “Sampai hari ini saya sudah membaca dua puluh buku tebal dan tipis. Semuanya berbicara tentang Ibnu Rusyd sebagai filosof. Saya tidak mengetahui buku yang menulis dia sebagai seorang ahli fiqh, kecuali tulisan ringkas dalam buku-buku biografi (kutub al Tarajum) atau dari bagian akhir buku fiqh satu-satunya yang ditulisnya, yaitu kitab “Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid”. Andaikata saja tidak ada buku ini kita sama sekali tidak akan mengetahui kepiawaiannya dalam bidang fiqh (hukum Islam)”.  

Dengan begitu mudah dimengerti jika popularitas pemikir besar ini dalam bidang fiqh tenggelam di bawah pikiran-pikirannya terutama tentang filsafat yang bertebaran dalam karya-karyanya yang cukup banyak. Meskipun begitu namanya tetap saja masuk dalam lingkungan tokoh-tokoh ushul fiqh. Ia adalah faqih dan ushuli.  Sebuah buku biografi berjudul Al Fath al Mubin fi Thabaqat al Ushuliyyin, tulisan Syeikh Abdullah Musthafa al Maraghi menyebutkan : “Al Failasuf Ibnu Rusyd. Ia adalah Muhammad bin Ahmad Abi al Walid bin Rusyd, populer disebut ‘al Hafid’ (sang cucu) dari Granada, bergelar Qadhi al Jama’ah, seorang faqih bermazhab Maliki, sastrawan, alim besar, al ushuli (ahli ushul fiqh), al hafizh al mutqin (ahli hadits), seorang filosof, dan penulis beragam bidang ilmu. Lahir di Cordova, tahun 520 H/1126 M. Ibnu Rusyd memperoleh ilmu pengetahuan dari ayahnya, hafal kitab “al Muwatha” (karangan Imam Malik) di luar kepala. Ia belajar fiqh dari beberapa ulama terkemuka pada masanya antara lain Abu al Qasim bin Basykwal, Abu Marwan bin Siraj, Abu Bakar ibnu Samhun, Abu Ja’far bin Abd al Aziz dan Abu Abdullah al Maziri”.(Fath al Mubin fi Thabaqat al Ushuliyyin, II/37). Sejumlah buku menyebutkan bahwa pikiran-pikiran Ibnu Rusyd dalam fiqh sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran kakeknya ; Ibnu Rusyd al Jadd (w. 520 H), seorang hakim Agung, mufti besar (Syeikh al Fatwa) di Andalusia dan Maroko, bermazhab Maliki dan referensi tertinggi (marji’ a’la) para hakim di dua wilayah tersebut. Dalam buku Bidayah, Ibnu Rusyd menyebut kakeknya dengan kata-kata  “al Qadhi” atau “Jaddi”. 

Seperti kakeknya, Ibnu Rusyd al Hafid adalah juga “qadhi al Jama’ah” (hakim agung) sebuah jabatan setingkat menteri di kedua wilayah tersebut. Jabatan ini merupakan karir tertinggi Ibnu Rusyd yang dijalaninya dengan sukses besar. Ia diangkat untuk jabatan tersebut sesudah selama beberapa tahun menjadi hakim tinggi di Seville yangketika itu menjadi ibukota Andalusia. Ketika pertama kali menjadi hakim tinggi tahun 565 H/1169 M ia masih berusia muda, 35 tahun. Sepuluh tahun kemudian ia kembali ke Cordova. Dan tidak lama sesudah itu ia diangkat kembali menjadi hakim tinggi tahun 575 H/1179 M untuk ke wilayah yang sama. Adalah menarik dicatat bahwa di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai hakim, ia juga menekuni bidang keilmuan yang lain, terutama filsafat. Konon sepanjang hidupnya dia tidak pernah libur belajar kecuali dua hari saja, ketika menikah dan ketika ayahnya meninggal dunia. Ia  menulis komentar, menerjemahkan dan menulis buku-buku filsafat, kedokteran, dan lain-lain. Perhatiannya dalam bidang filsafat jauh melebihi bidang lainnya. Di Seville tempatnya bekerja,  ia menghasilkan tiga karyanya yang paling orisinal dan independen yaitu Fashl al Maqal fi maa baina al Hikmah wa al Syari’ah min al Ittishal, Kasyf ‘an Manahij al Adillah dan Tahafut al Falasifah. Selain tiga buku ini ia juga menulis sejumlah buku yang lain. Sangat disayangkan memang bahwa kita tidak mendapatkan kompilasi fatwa-fatwa Ibnu Rusyd selama dia menjadi hakim agung.  Ibnu Rusyd meninggal dunia pada hari Kamis, 9 shafar 595 H/10 Desember 1198 M. Sebuah sumber mengatakan ia meninggal di tahanan dan dikubur di sana untuk pada gilirannya dipindahkan ke tempat yang lain. 

Latarbelakang Penulisan Kitab Bidayah al Mujtahid

Kitab fiqh ini sebagian besar isinya ditulis pada tahun 564 H/1168 M satu tahun sebelum diangkat sebagai hakim di Seville. Dapat dipastikan bahwa buku ini ditulis mendahului tiga buku di atas dan buku-buku filsafatnya yang lain. Karir awal Ibnu Rusyd memang dalam bidang. Ia sengaja menulis buku fiqh dengan memberi judul Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Pengantar bagi Mujtahid dan Pegangan bagi pemula). Atau dengan bahasa lain : Bidayah al Sair li al Mujtahid wa Nihayah al Mathaf li al Thalib al Mubtadi al Muqtashid. (Awal perjalanan bagi orang yang ingin menjadi mujtahid dan halte terakhir bagi pelajar tingkat menengah). Sebagian penulis menyebut : Bidayah al Mujtahid wa Kifayah al Muqtashid. (kitab pertama bagi calon mujtahid dan yang memadai bagi kelas menengah). Karena sasaran  pembacanya adalah kelas menengah dan calon mujtahid, maka buku tersebut ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sederhana tetapi juga sangat padat sambil mengemukakan dasar-dasar hukumnya dan sedikit analisis. Terasa oleh kita bahwa buku ini ingin mengemukakan sesuatu yang berbeda dari kecenderungan umum masyarakatnya. Ibnu Rusyd menulis buku ini di tengah-tengah berkembang dan merebaknya praktik-praktik keagamaan konservatif-tekstualis dan disosialisakannya secara massif tuntutan kepada masyarakat untuk bertaklid kepada para ulama. Untuk diketahui bahwa  pada masanya fiqh Daud Zhahiri yang dikembangkan secara lebih luas dan lebih dalam oleh Ibnu Hazm, ahli fiqh terkemuka kelahiran Kordova (w.1064 M) berkembang cukup pesat. Saya merasakan  bagaimana kegelisahan sekaligus keprihatinan Ibnu Rusyd ini menyaksikan praktik-praktik keberagamaan tersebut dan pada waktu yang sama ingin menggugatnya. Tetapi ia begitu santun, sabar dan rendah hati. Ia bukan tipe pemikir provokatif. Kegelisahan dan gugatan tersebut dikemukakan dengan nada samar-samar, pelan-pelan dan hati-hati seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri. Ini diungkapkannya dalam pengantar buku ini. Katanya : 

“Tujuan buku ini pertama-tama sebagai catatan bagi diri saya sendiri mengenai hukum-hukum yang disepakati dan hukum-hukum yang diperdebatkan di kalangan para mujtahid. Mengenai yang kedua ini saya mencoba memperlihatkan hal-hal yang menjadi titik krusial dalam perdebatan yang berlangsung di kalangan mereka dengan merujuk pada dasar-dasar teori (ushul dan kaedah fiqh) mereka. Dengan begitu saya berharap para mujtahid (baru) dapat mengkaji dasar-dasar tersebut untuk menjawab kasus-kasus atau masalah-masalah baru (al maskut ‘anha) yang mereka hadapi. Kebanyakan masalah dalam buku ini memang adalah masalah-masalah yang sudah pernah terjadi dan ada dalil agamanya (al masail al manthuq biha fi al syar’), atau mirip dengan itu. Masalah-masalah ini ada yang disepakati hukumnya dan ada pula yang diperdebatkan di antara para ahli hukum Islam (fuqaha) sejak masa sahabat sampai dengan masa berkembangnya taklid”.(Bidayah, hlm.2).

Pernyataan pengantar Ibnu Rusyd di atas menunjukkan dengan jelas mengenai pandangan Ibnu Rusyd tentang fiqh, sekaligus memberikan isyarat tentang perlunya masyarakat mengkaji dasar-dasar pemikiran fiqh. Bagian lain dari pengantar buku  ini memperlihatkan kecenderungan penulisnya yang sangat kuat untuk melakukan rekonstruksi terhadap kajian-kajian fiqh yang selama ini dilihat Ibnu Rusyd sebagai tidak berkembang dan konservatif. Melalui buku ini ia berharap kepada masyarakat terdidik untuk melakukan upaya “tahshil al ushul” (mengkaji dasar-dasar fiqh) atau bahkan mungkin “ta’shil al ushul’ (membongkar paradigma). Ia mengatakan bahwa masalah-masalah hukum sejak masa sahabat sampai masa taklid seluruhnya merupakan produk dan hasil-hasil kajian mereka terhadap dalil-dalil atau sumber-sumbernya.  Bahkan menurutnya hukum-hukum yang disepakati (ijma’) tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dihasilkan melalui proses-proses nalar ijtihad terhadap teks-teks sumber. Mengenai ini Ibnu Rusyd mengatakan : “Wa laisa al Ijma’ ashlan mustaqillan bi dzatihi min ghair istinad ila ahad hadzihi al thuruq al arba’ah”, (Ijma’ bukan merupakan dasar yang independen tanda menyandarkan pada salah satu empat metode di atas). ( Ibid, hlm. 5). Kalau boleh kita berpendapat, Ibnu Rusyd sebetulnya ingin mengatakan bahwa dalam kurun waktu yang cukup panjang, yakni sejak wafatnya Nabi sampai periode taqlid, fiqh sesungguhnya adalah hasil dari proses-proses intelektual yang intensif di antara para ahli hukum guna menjawab problem-problem kehidupan praktis di sekitar mereka. Karena itu kita seharusnya mengikuti cara-cara tersebut dan tidak hanya terpaku pada produk-produk pikiran mereka. Sangat jelas bahwa Ibnu Rusyd ingin menggugat kemapanan tradisional. “Seharusnya para ahli fiqh tidak selalu bertaklid kepada  orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal produk-produk fiqh mereka. Orang yang hafal produk-produk hukum para mujtahid, betapapun banyaknya, tidak bisa disebut “faqih”. Seseorang baru bisa disebut “faqih” (ahli fiqh), jika dia mampu menganalisis teks-teks hukum secara mendalam, melalui argumen-argumen yang dapat diterima akal pikiran dan mengembangkan dasar-dasarnya”. Begitu kira-kira yang dipikirkan tokoh ini. Ini juga yang sebelumnya dikatakan Imam al Ghazali : “La yusamma ‘aliman idza kana sya’nuhu al hifzh min ghair itthila’ ‘ala al hikam wa al asrar”.(tidak disebut ‘alim (pandai) orang yang pekerjaannya hanya menghafal teks-teks tanpa mengkaji hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya).(Ihya Ulumiddin, I/87). Hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia tentu saja adalah hal-hal yang terdalam, yang substantif dan yang rasional, bukan yang formal, yang kulit dan yang tekstual.    

Pandangan Ibnu Rusyd tersebut mengisyaratkan sikap rasionalitasnya terhadap aspek-aspek hukum. Menganalisis teks tidak bisa lain kecuali melalui akal yang dalam bahasa Ibnu Rusyd dalam bukunya yang lain sering disebut “hikmah”. Penggunaan akal, hikmah dan filsafat bagi Ibnu Rusyd adalah niscaya bagi pengembangan hukum dan pemikiran Islam yang lain. Tanpa akal teks-teks hukum dalam al Qur-an maupun Hadits tidak akan mampu menjawab kasus-kasus dan problem-problem kehidupan yang terus berkembang. Menurutnya “ucapan-ucapan Nabi (al nushsus), tindakan-tindakan Nabi (al af’al) dan pengakuan-pengakuan (al iqrarat) adalah terbatas, sementara peristiwa-peristiwa yang dihadapi manusia tidak terbatas. Adalah tidak mungkin bahwa hal-hal yang terbatas bisa memutuskan (menjawab) hal-hal yang tak terbatas”.(al Waqai’ baina Asykhas al Anasi ghair mutanahiyah wa al Nushush wa al Af’al wa al Iqrarat mutanahiyah). (ibid, hlm. 3).

Tetapi adalah menarik bahwa Ibnu Rusyd dalam pemaparannya tentang metode yang dipakai para mujtahid, masih memperlihatkan kedenderungannya untuk mengkaji aspek-aspek bahasa atau yang biasa disebut dengan “dilalah al alfazh”, pemaknaan teks. Ia sama sekali tidak mengungkapkan secara eksplisit tentang “Maqashid al Syari’ah” sebagai pijakan utama sebagaimana yang menjadi kecenderungan utama Abu Ishaq al Syathibi ahli hukum Spanyol lain yang lahir dua abad kemudian. Ibnu Rusyd tampaknya masih terpengaruh oleh kecenderungan umum para ahli fiqh pada masanya atau ingin mengikuti arus umum terhadap kajian fiqh poada masanya. Tetapi ia berbeda dengan pikiran ahli fiqh mainstream, perhatian utamanya adalah bagaimana teks-teks tersebut seharusnya dipahami melalui argumen rasional (burhan/demonstratif) Aristotelian. Ia memang memiliki konsistensi yang tinggi terhadap aspek rasionalitas ini untuk memahami agama. Tentu saja hal ini mengharuskan kita untuk menyatakan sekali lagi bahwa Ibnu Rusyd adalah  seorang tokoh yang memiliki basis rasionalisme Aristotelian yang sangat kuat. Inilah yang membedakan Ibnu Rusyd dengan para ahli fiqh lain pada masanya yang tetap mempertahankan pandangan-pandangan tradisional, konservatif dan tekstual. Dalam buku “Fashl al Maqal” yang ditulis kemudian, ia mengemukakan bahwa akal harus didahulukan dari naql jika keduanya dibaca secara bertentangan melalui metode “takwil”. Takwil adalah “mengeksplorasi dan memproduksi makna teks dari yang ‘hakiki’ kepada makna ‘majazi (metaforis) tanpa melepaskan diri dari tradisi penggunaan bahasa Arab”. Katanya : “Idza kanat al syari’ah nathaqat bihi fa la yakhlu zhahir al nuthq an yakuna muwafiqan li ma adda ilaihi al burhan fihi aw mukhalifan. Fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika wa idza kana mukhalifan thulib ta’wiluh”(Jika teks syari’ah (agama) berbicara maka makna lahiriah teks tersebut boleh jadi cocok dengan akal dan bisa jadi tidak. Jika cocok, maka tidak ada persoalan. Tetapi jika bertentangan ia harus ditakwil).(Fashl al Maqal, 97). Pernyataan ini  boleh jadi sengaja dikemukakan Ibnu Rusyd untuk mempertahankan kecenderungan rasionalistiknya dalam fiqh dari serangan lawan-lawannya.

Ibnu Rusyd : Alim-Faqih yang jujur 

Kitab Bidayah al Mujtahid, merupakan karya besar dalam bidang fiqh. Tetapi ia bukan kitab komentar luas (syarh), seperti kitab “Al Majmu’ syarh Muhazab” karya Imam Nawawi, misalnya. Bidayah hanya terdiri dari dua jilid tebal dengan jumlah halaman masing-masing 480 an. Seluruh persoalan fiqh dibahas pengarangnya secara ringkas, to the point, melalui metode komparatif dengan menampilkan berbagai pandangan fiqh, tanpa membatasi diri pada mazhab empat. Ia menyebut sejumlah tokoh besar lainnya seperti Ibnu Abi Laila (74-148 H), Abu Tsaur (240 H/854 M), Daud bin Ali al Zhahiri (201-270 H), Sufyan al Tsauri (97-161 H), Sufyan bin Uyaiynah (170-198 H), Abu Yusuf, dan lain-lain. Ibnu Rusyd tidak menyebut pandangan mazhab Syi’ah. Ini boleh jadi karena  mazhab tersebut tidak populer di sana atau tidak sampai kepadanya atau dia  menganggap bahwa pandangan mazhab Zhahiri sudah dapat mewakilinya. 

Tetapi adalah jelas bahwa masalah-masalah fiqh yang dibahas di dalamnya masih seperti diungkapkannya sendiri pada pengantarnya, merupakan masalah-masalah lama sebagaimana pada umumnya kita fiqh. Sudah tentu dari kitab ini kita tidak bisa berharap mendapatkan jawaban atas problem sosial, ekonomi, politik yang tengah kita hadapi sekarang. Meskipun begitu paradigma dan metode rasionalnya memberikan dasar bagi pengembangan hukum untuk merespon problem yang terjadi dalam ruang dan waktu yang lain. 

Banyak hal yang istimewa dari kitab ini dibanding kitab-kitab fiqh klasik yang lain yang berkembang pada masanya. Sejumlah “kelainan” yang mungkin perlu dikemukakan dalam kesempatan ini adalah sebagai berikut. 

Pertama, kitab ini disusun dengan sistematika yang sangat baik melalui metode deduktif. Dalam setiap tema bahasan yang disebut dengan “kitab” Ibnu Rusyd lebih dahulu mengemukakan hal-hal pokok yang menjadi kepentingan agama. Dari “kitab” di turunkan menjadi “bab” yang berisi topik-topik masalah penting, dan dari “bab” diurai lagi menjadi “pasal” dan terakhir “masalah-masalah” atau kasus-kasus hukum yang relatif lebih detail. Sesudah itu ia menampilkan hukum-hukum yang disepakati para faqih berikut dalil-dalil agamanya baik al Qur-an maupun hadits. Di dalam “masalah-masalah” tersebut dia mengemukakan pendapat setiap ahli faqih berikut argumen-argumennya baik naql (al Qur-an dan hadits) maupun aql dan pertimbangan-pertimbangan lain. Pada setiap masalah yang diperdebatkan para ulama Ibnu Rusyd menyampaikan latarbelakang perbedaan (sabab ikhtilaf), proses penarikan kesimpulan masing-masing ulama (istinbath) dan kesimpulan hukum masing-masing. 

Kedua, hal menarik yang lain dari Ibnu Rusyd adalah bahwa dia menuturkan semuanya melalui nada bahasa yang datar,  dengan bahasa yang santun, tanpa menggurui dan tanpa prasangka. Ia tidak pernah menggunakan kata-kata yang “menyalahkan” pihak yang tidak disetujuinya. Ia hanya mengatakan “wa syadzdza” (tidak umum). Lebih dari itu dia tidak memperlihatkan usahanya untuk melakukan pemihakan terhadap salah satu mazhab, termasuk mazhab yang dianutnya sendiri ; Malikiyah. Ia bukan seorang yang fanatik (ta’asshub madzhabi).  Ia tidak juga ingin mempengaruhi atau mengarahkan pembacanya kepada pandangan tertentu. Semuanya dibiarkan mengalir untuk menjadi pilihan mereka masing-masing.

Ketiga, meski bersikap netral-obyektif, tidak berarti bahwa dia tidak mempunyai pendapat tertentu yang disetujuinya. Ia tetap memilih pendapat yang sesuai dengan pikirannya. Tampaknya dia ingin tetap mempertahankan kepemihakan pada siapa saja yang memiliki argumen ilmiyah-rasional, bahkan seringkali untuk keperluan tersebut ia juga perlu mengungkapkan pendapat yang “langka” (naadir), tidak populer, pinggiran dan dia agaknya cenderung memilihnya. Ibnu Rusyd adalah pemikir fiqh aliran rasional (ahli ra’yi) yang bebas. Ini tampak misalnya dari kedenderungannya untuk lebih banyak mengungkapkan dukungan terhadap suatu argumen hukum dari aspek “dirayah” al hadits, dibanding aspek “riwayah”, terutama dalam bidang non ibadah. 
   
Untuk menjelaskan pandangan fiqh Ibnu Rusyd dan bagaimana dia begitu bebas memilih pendapat ahli fiqh, beberapa contoh kasus barangkali perlu dikemukakan. Pertama tentang kasus menyentuh tubuh perempuan.

“(Masalah ketiga). Para ulama berbeda pendpat tentang kewajiban wudhu bagi orang (laki-laki) yang menyentuh perempuan dengan tangan atau dengan bagian tubuh lainnya. Sebagian berpendapat orang yang menyentuh tubuh perempuan tanpa ada penghalang dia wajib wudhu. Demikian juga menciumnya karena mencium menurut mereka juga bermakna menyentuh (lams) tidak peduli apakah dia merasa “ladzdzah” (senang) atau tidak. Ini adalah pendapat al Syafi’i dan sahabat-sahabatnya. Tetapi mereka kadang-kadang membedakan antara orang yang menyentuh dan yang disentuh. Yang harus wudhu menurut sebagian mereka adalah orang yang menyentuh bukan yang orang disentuh. Kadang –kadang menyamakannya. Pada saat lain mereka membedakan antara “dzawat al maharim” (para perempuan keluarga dekat) dan isteri. Laki-laki yang menyentuh isterinya wajib wudhu, sementara menyentuh perempuan keluarga tidak wajib. Sebagian mereka menyamakan keduanya. Ulama lain berpendapat wajib wudhu bagi orang yang menyentuh perempuan jika disertai rasa senang atau sengaja untuk senang baik ada penghalang atau tidak. Sebagian pendapat tidak mensyaratkan adanya rasa senang. Ini adalah pendapat Imam Malik dan mayoritas sahabatnya. Sebagian pendapat tidak mewajibkan wudhu. Ini pendapat mazhab Abu Hanifah. Masing-masing pendapat mempunyai dasar hukum dari para sahabat Nabi. Tetapai seingat saya tidak ada seorang sahabatpun yang mensyaratkan adanya “rasa senang”. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya lafazh “lamasa” yang  bermakna ganda. Orang Arab memaknai “lamasa” sebagai menyentuh dengan tangan. Kadang-kadang mereka memaknainya sebagai “jima’” (berhubungan intim, coitus). Sebagian pendapat memaknai kata “lamasa” dalam ayat wudhu dengan arti “jima’”. Ayat tersebut ialah “aw laa mastum al nisa”. Sebagian memaknainya dengan “menyentuh dengan tangan”. Di antara mereka berpendapat bahwa ayat tersebut termasuk dalam katagori “al ‘am urida bihi al khas” (kata umum tapi dimaknai khusus), yaitu dengan arti menyentuh disertai “ada rasa senang”. Sebagian mereka memasukkannya dalam katagori “al ‘am urida bihi al ‘am”(kata umum dan bermakna umum) maka tidak ada persyaratan “ada rasa senang”. Pendapat yang mensyaratkan “ada rasa senang” sebetulnya bertentangan dengan keumuman ayat. Nabi sendiri pernah menyentuh isterinya Siti Aisyah dengan tangannya ketika beliau sujud. Boleh jadi Siti Aisyah juga menyentuhnya. Ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah dari Nabi Saw. Beliau mencium sebagian isterinya kemudian keluar shalat tanpa wudhu. Saya bertanya : “apakah yang dimaksud sebagian isteri tersebut adalah anda?”. Aisyah tertawa saja. Hadits ini oleh ulama Hijaz dianggap lemah sementara oleh ulama Kuffah dianggap sahih. Ibnu Abd al Barr termasuk yang meyakini kesahihannya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ma’bad bin Nabatah. Imam Syafi’i mengatakan ; “Jika hadits Ma’bad bin Nabatah ini sahih saya tidak akan berpendapat bahwa mencum dan menyentuh harus wudhu”. Ulama yang mewajibkan wudhu karena menyentuh dengan tangan berargumen bahwa kata “al lams” pada dasarnya (hakikatnya) berarti menyentuh, dan berarti “jima’” dalam pengertian “majaz” (metaforis). Jika terjadi perbedaan antara makna “dasar”(hakikat) dan makna “majaz”, maka yang paling baik diambil makna “hakikat”. Akan tetapi yang lain bisa mengatakan bahwa makna majaz jika banyak digunakan dalam pembicaraan, maka itu lebih dapat dimengerti daripada makna “hakikat”. Ini sebagaimana kata “al ghaith” yang sering dimaknai buang air besar padahal ini makna “majaz” sementara makna “hakikat” nya adalah tanah yang cekung (tanah rendah tempat buang air besar). Saya meyakini bahwa kata “al lams”, meskipun mempunyai dua makna yang sama atau hampir sama digunakan, lebih kuat diartikan “jima’ meskipun makna “majaz”. Ini karena Allah Swt sering menggunakan kata “mubasyarah”(bersentuhan kulit) dan “al lams” (menyentuh) untuk maksud “jima’”. (Bidayah, I/37-38).       

Contoh kedua tentang nikah Mut’ah. Ibnu Rusyd mengemukakan masalah ini dalam bab ke lima yang membahas ; “Nikah-Nikah yang dilarang Syara’, Nikah-Nikah yang salah (fasid) dan hukumnya”. 

“Nikah Mut’ah walaupun sangat banyak hadits-hadits Nabi yang menyebutkan keharamannya, tetapi terjadi perbedaan tentang waktunya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia diharamkan pada perang Khaibar, sebagian berpendapat pada penaklukan Makkah (yaum al fath), sebagian lagi pada perang Tabuk, sebagian lagi pada Haji Wada’ (haji perpisahan), sebagian lagi pada perang Awthas. Kebanyakan sahabat dan semua ahli fiqh perkotaan mengaramkannya. Pendapat Ibnu Abbas yang populer menghalalkannya. Pendapat ini diikuti oleh sahabat-sahabatnya di Makkah dan Yaman. Mereka meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas beragumentasi dengan firman Allah : “maka isteri-isteri yang kamu nikmati di antara mereka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya...”.(Q.S. al Nisa 24). Dalam mushaf Ibnu Abbas terdapat kata-kata “ila ajalin musamma” (sampai masa yang disebutkan). Ibnu Abbas pernah mengatakan : “Mut’ah tidak lain adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad saw. Kalau saja Umar bin Khattab tidak melarangnya maka tidak ada orang yang terpaksa melakukannya kecuali orang yang celaka (syaqiy). Pernyataan Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Amru bin Dinar. Atha mengatakan : “Saya mendengar Jabir bin Abdullah mengatakan : “Kami melakukan nikah  mut’ah pada masa Nabi saw masa Abu Bakar dan separoh masa Umar. Setelah itu Umar melarangnya”.  (ibid, II/58).

Demikianlah dua contoh dari materi fiqh yang terdapat dalam kitab Bidayah. Kita tentu bisa menganalisis sendiri-sendiri dan menilai bagaimana pendapat Ibnu Rusyd mengenai dua kasus tersebut. Menurut saya, pertama, pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan dengan jelas kealiman dan kejujuran Ibnu Rusyd. Ia mengemukakan semua pandangan fiqh yang diketahuinya menurut apa adanya, tanpa pretensi apapun. Kedua, pada kasus pertama Ibnu Rusyd cenderung mengikuti pandangan Imam Malik, mazhabnya sendiri, yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu. Pada kasus yang kedua Ibnu Rusyd cenderung mengikuti pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan nikah Mut’ah. Hal ini terkesan oleh pemaparannya terhadap pendapat Ibnu Abbas yang diurai secara lebih panjang. Atau meskipun dia tidak setuju nikah Mut’ah, paling tidak dia ingin memperkenalkan kepada publik tentang adanya pendapat yang membolehkan nikah Mut’ah yang juga memiliki argumentasi teks. Sayang sekali memang bahwa Ibnu Rusyd tidak membahas persoalan ini secara lebih luas terutama mengenai alasan-alasan sosiologis maupun rasional. Tetapi kita segera maklum bahwa sekali lagi kitab ini bukan ditulis untuk mengupas persoalan-persoalan fiqh secara lebih detail, melainkan sekedar mempertunjukkan bahwa fiqh selalu merupakan produk pemikiran orang yang memungkinkan berbeda-beda dan mempunyai rujukan teks yang bisa diinterpretasikan sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Dengan begitu, maka produk fiqh tidak bisa dimutlak-mutlakkan kebenarannya. 

Akhirnya, untuk memahami pandangan fiqh Ibnu Rusyd lebih lanjut sebaiknya kita membaca kitab ini bab demi bab sampai khatam. Lalu, saya kira dewasa ini paradigma berpikir Ibnu Rusyd, cara-caranya menyampaikan pikiran dan keterbukaannya dalam menerima pikiran-pikiran orang lain perlu diteruskan. Dan kitab Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid seyogyanya diajarkan di pesantren-pesantren, majlis-majlis ta’lim dan tempat-tempat pengajian/pendidikan yang lain.

Kamis, 02 Oktober 2014

Langkah Pesantren Dalam Membendung Ideologi Politik Islam Radikal


Royyan Habibi A.Z - Santri PP. Besuk Pasuruan
 Menarik membaca opini mengenai radikalisme islam di Kompas minggu kemarin. Opini tersebut pada intinya ingin mempertanyakan “atas dasar apa ISIS dilarang di Indonesia? jika pelarangannya hanya karena masalah ideologi khilafahnya, lalu mengapa ormas yang mengusung ideologi serupa tidak dilarang?”

ISIS sebagai kelompok yang mengusung ide tentang khilafah pada dasarnya bukanlah fenomena baru, banyak kelompok lain yang juga mengusung ide serupa dengan ISIS. Ide yang di usung mereka kebanyakan membicarakan seputar khilafah, formalisasi syariat dan hal lain yang berkaitan dengan sistem kenegaraan yang mereka anggap sebagai sebuah sistem 'islami'. Mereka memiliki kecendurungan pemahaman bahwa politik merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan (integral) dari agama. Agama tanpa adanya politik dalam anggapan mereka tidak akan dapat ditegakkan. Sehingga membuat suatu sistem pemerintahan sebagaimana yang mereka ‘khayalkan’ menjadi suatu kewajiban atau  bahkan dianggap sebagai pilar (rukun) dari islam.

Dampaknya,  sistem lain seperti demokrasi dianggapnya sebagai bid’ah, pancasila dianggap taghut, hanya karena ide  tersebut yang menciptakan adalah manusia. Sementara itu, sistem pemerintahan dengan pola khilafah bagi mereka merupakan sistem yang berasal dari Tuhan dan akan tetap relevan hingga kini. Jika khilafah tidak segera ditegakkan. Maka menurut anggapan  mereka, seluluruh umat Islam akan berkonsekuensi mendapatkan dosa. 

Kelompok semacam ISIS -dengan wacana mengenai agama dan negara yang dimilikinya- bila dibiarkan beraksi dan masuk di Negara Indonesia. Tentu akan mengancam keutuhan bangsa yang sudah sejak 69 tahun kemerdekaan kita pertahankan. Sebab, kelompok semacam ISIS, tidak mengenal watak dasar manusia yang mencintai perdamaian. Dan ISIS juga tidak mengenal relasi (hubungan) antara manusia tanpa memandang latar belakang suku, budaya atau agamanya. Oleh karena itu, sebagai kalangan yang turut berperan dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan bangsa. Maka sudah seharusnya kalangan pesantren mengupayakan diri untuk membendung aliran semacam itu berdiri di Negara kita, Indonesia.

Tulisan ini akan memberikan suatu penegasan mengenai fenomena islam radikal yang getol mengusung ide khilafah dari sisi ia sebagai ideologi politik, bukan sebagai ideologi keagamaan. Karena kelompok islam yang sering membicarakan mengenai sistem kenegaraan tersebut hanyalah merupakan ideologi politik yang sama sekali tidak ada kaitanya dengan agama. Atau bisa jadi kelompok seperti itu hanyalah kelompok yang mempolitisi agama dimana agama hanya dijadikan sebagai topeng ide politiknya.

Di sisi lain, tulisan ini juga akan menjelaskan bagaimana sikap kita sebagai insan pesantren yang telah berjasa atas kemerdekaan Negara ini untuk membendung kelompok yang berusaha ingin memecah bela keutuhan bangsa.

ISIS hanyalah ideologi politik

Memahami ISIS sebagai kelompok yang selama ini getol  mengusung ide tentang khilafah, mesti tidak bisa kita kaitkan dengan apapun yang menyagkut dengan agama, karena sudah jelas legalitas paham mereka sama sekali tidak didukung atau berdasarkan atas dalil agama. Baik itu dari sisi aqli (rasio) ataupun naqli (al-quran dan hadits). Kalaupun ada dalil yang digunakan sebagai landasan pemikiran mereka, itupun cenderung dipaksakan dan dipolitisir sesuai dengan pemahamanya. Oleh sebab itu, paham ISIS ataupun yang sejenisnya hanyalah murni sebagai idelogi politik dan tidak berbasis pada agama, apalagi Islam.

 Sebagai ideologi, ia sama sepeti halnya Marxisme atau Sosialisme.  Sama-sama memiliki kepentingan. Bila Marxisme memiliki kepentingan buruh dan Sosialisme memiliki kepentingan persamaan hak. Maka ISIS juga memiliki kepentingan, yaitu mendirikan negara islam dengan pola kepemimpinan khilafah (Islamic state).

Bukti bahwa paham sebagaimana ISIS adalah hanya murni sebagai ideologi politik. Dapat terlihat pada pemahaman mereka terhadap khilafah. Ideologi kelompok semacam ISIS tidak sesuai dengan spirit kewajiban mendirikan pemerintahan itu sendiri. Ketika fungsi khilafah adalah untuk menegakan agama di tengah-tengah umat. Agar umat dapat melaksanakan ajaran agamanya. Namun ketika agama dapat dijalankan tanpa khilafah kelompok radikal sebagaimana ISIS tetap mempertahankan ide khilafahnya. Terbukti dengan kepemimpinan model presiden dan Negara menganut sistem demokrasi dimana agama tetap dapat dijalankan oleh masing-masing pemeluknya. Mereka tetap saja ngotot mendirikan khilafah. Dari situ jelas, bahwa kepentingan ISIS hanyalah murni untuk mendapatkan kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan agama.

Politik dan agama

Disini menarik untuk mengutip pendapat Ali Abd Raziq mengenai otoritas Nabi terhadap umatnya. Dan dari pendapatnya tersebut kita dapat memahami mengapa dalam Islam tidak ada satupun dalil yang membicarakan mengenai pola model politik yang harus diterapkan.

Menurut Ali Abd Raziq, Nabi Muhammad SAW. semata-mata adalah seorang Rasul saja yang punya misi mendakwahkan ajarannya, dan tidak bermaksud untuk mendirikan Negara, serta tidak mempunyai kekuasaan duniawi maupun pemerintahan, terlebih mendirikan kerajaan.

 Senada dengan Ali Abd Raziq, adalah sosiolog muslim Ibnu Khaldun, beliau mengungkapkan bahwa Nabi adalah seorang Rasul yang diutus untuk kepentingan syariat, bukan untuk mengajari masalah kedokteran atau hal-hal urusan dunia lainya (termasuk politik). Berkaiatan dengan urusan duniawi ini Nabi memberikan suatu pernyataan “kalian lebih mengerti mengenai urusan dunia kalian”

Dengan demikian berarti secara tidak langsung bagi Abd Raziq dan Ibnu Khaldun, politik bukanlah merupakan bagian dari ajaran keagamaan. Politik merupakan urusan duniawi yang terus akan mengalami dinamismenya. Sehingga urusanya diserahkan penuh pada umat untuk menentukan model politik bagaimana yang akan diterapkan, asal tetap mencerminkan kemaslahatan.

Oleh sebab itu, wajar apabila Gus Dur dengan mengutip apa yang dikemukakan oleh Munawir Syadzali pada satu kesempatan. Menjelaskan bahwa "pemikir teoritis politik besar Islam tidaklah mencari pola idealisasi bentuk negara yang islami. Akan tetapi, justru menekankan penggunaan bentuk negara yang sudah ada". Karena pada kenyatanya, menerapkan sistem pemerintahan dengan pola model khilafah yang dianggap sebagai bentuk negara 'islami' ternyata justru memiliki banyak kekurangan bila diterapkan pada masa sekarang. Sebab sistem tersebut cenderung stagnan (mandek) tidak berkembang. Hanya berputar-putar soal bai’at, ahdu, ahl hall wal aqd (parlemen) tanpa ada koreksi pembenahan. Sementara sistem pemerintahan lain berjalan dinamis dan koreksi untuk pembenahan terus dilakukan demi mencari sistem yang terbaik.

Radikalisme di Indonesia

Fenomena radikalisme dengan mengusung tema khilafah, penerapan syariat dsb.  di Indonesia sebenarnya sudah dapat dibaca kemunculanya mulai pada waktu negeri ini menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara. Mereka menentang keputusan tersebut dan hal itu berjalan hingga kini. Mereka mungkin tak berani menentang Pancasila secara terbuka. Namun, kebanyakan mereka menganggap Pancasila sama dan sejajar dengan demokrasi, dan HAM, ideologi ciptaan manusia yang tak pantas di’pertuhankan’. Cepat atau lambat mereka berniat menggulinggkan dan menggantikanya dengan hukum Tuhan.

Akan tetapi meski begitu, negeri ini tidak bisa mencegah ideologi semacam diatas bila ide-ide tersebut hanya bersemayam dalam pikiran. Se-ekstrim apapun ide suatu kelompok bila hanya ada pada pikiran, bukan dalam bentuk aksi. Maka tidak boleh untuk dilarang, karena hal itu hanya akan mengakibatkan keterbatasan pemikiran di negeri ini. Pembungkaman pikiran berimplikasi pada indeks kebebasan sebagai prasyarat demokrasi.

Dalam langkahnya, untuk membendung kelompok Islam radikal -menurut penulis- kalangan pesantren mesti menerapkan dua cara. (1) struktural dan (2) kultural. Sebab, untuk merespon gerakan radikalisme islam  di Indonesia, mesti butuh peraturan perundang-undangan yang mengatur “ketidak bebasan” warga negara menyebarluaskan, mengampanyekan, mengajak orang lain, untuk bersama-sama memusuhi dan atau hendak menggulingkan salah satu dari Pancasila, UUD1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu, pesantren mesti terjun langsung dalam percaturan politik sebagai langkah membendung aliran islam radikal yang sekarang ini sudah mulai berani memasuki ranah itu (politik).

Selain secara struktural, respon secara kultural pun juga perlu, dalam hal ini orang-orang pesantren mesti turut membendung gerakan radikal yang mengatasnamakan islam itu dengan jalan dialog, diskusi atau perang wacana dengan tetap menjaga etika dan moral sebagai seorang muslim, lebih-lebih sebagai seorang santri.

 Akhirnya, sebagai penutup saya kutipkan apa yang dikatakan oleh Prof. Said Aqil Siradj pada waktu pertemuan dengan para kiyai disalah satu hotel di Surabaya. “Nabi Muhammad sudah memprediksikan kemunculan radikalisme islam ini. Oleh karenanya gus-gus jangan berlindung dibalik tembok pesantrenya terus, beri respon terhadap mereka”. [RH]