Senin, 27 Februari 2017

Resensi kitab:Tajdid al Fiqhi al Islami (Inovasi Fiqih Islam). | Royyan Habibie

Membaca buku setebal 344 halaman ini, kita akan mendapatkan kesan hasil pemikiran yang benar-benar ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Jauh dari kesan "sembrono" atau gegabah dalam menyikapi hukum-hukum Islam hasil analisa (baca: ijtihad) ulama salaf yang ingin direlevansikan dengan zaman oleh sebagian kalangan. Hal ini tidak lepas dari kompetensi kedua penulis Dr.Jamaluddin Athiyyah Muhammad (Mesir) dan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily (Syiria) yang sudah begitu kondang dengan aktifitas keilmuannya.


Buku yang merupakan salah satu bagian dari kumpulan Hiwarat li Qarnin Jadid (Dialog untuk era modernisme) ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama, karya tulis Dr.Jamaluddin Athiyyah sebanyak 142 halaman. Bagian kedua, karya Dr.Wahbah Zuhaily sebanyak 79 halaman, dan Ta`qibat (Komentar dan kritik) antara kedua ulama tersebut sebanyak 34 halaman.


Dr. Jamaluddin membagi pemaparannya menjadi dua bagian besar. Pertama, berhubungan dengan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam usaha inovasi fiqih,dan kedua tentang sample penyusunan fiqih model baru yang menjadi usulannya.


Pada bagian pertama Dr. Jamal menawarkan 12 terobosan untuk pembaharuan fiqih yang mencakup materi fiqih dan materi yang perlu diinovasi; usaha "menghidupkan ruh" pada penulisan fiqih; perlunya studi perbandingan antar madzhab dan UU positif; selalu mengaitkan fiqih dengan aktifitas aktual; dan lain sebagainya.


Pada tiap langkah Dr.jamal memperinci dan menjelaskan usulannya dengan begitu hati-hati namun dinamis.


Bagian kedua, doktor kelahiran Mesir 1928 ini membahas usulannya dalam usaha penyusunan fiqih baru yang terdiri dari 16 pembagian besar. Pada tiap bagian,dia menyertakan contoh-contoh kitab modern yang sudah dipublikasikan.


Sedangkan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily yang saat ini sudah memiliki lebih dari 50 karangan kitab, memaparkan makalahnya dalam beberapa poin besar, yaitu ; Musytamalatu as Syari`ah (cakupan syareat) ; pensyareatan (Tasyri`),fiqih dan logika ; kebutuhan akan inovasi dan jangkauannya; bagian-bagian yang tidak boleh diubah (stagnan) dan yang boleh diubah dalam syareat; kemampuan Mujaddid (Pembaharu) dan Mujtahid; hukum fiqih yang bisa diinovasi dan yang tidak bisa diinovasi; ukuran-ukuran dalam tajdid yang diambil dari qowaid fiqh (kaidah-kaidah fiqih), maqoshid, sumber tasyri` (pensyareatan) baik yang ada nashnya maupun yang tidak ada; metode pembaharuan,contoh dan praktek.


Buku terbitan Dar al fikr al Muashir ini kemudian ditutup dengan dialog antara kedua penulis; berisi poin-poin yang disepakatikedua pihak,serta catatan dan komentar pada tiap paragrap tulisan.

Minggu, 12 Februari 2017

Resensi Buku | Oleh: Royyan Habibi, Santri PP. Besuk, Pasuruan

Dalam perbincangangan mengenai maslahah, tidak jarang terdengar satu gagasan kontroversial mengenai maslahah yang diciptakan oleh cendekiawan abad 7 H. penganut madzhab Hanbali, yaitu Najm ad-Din at-Thufi. Ia adalah salah seorang pemikir gemilang abad pertengahan yang mencurahkan perhatianya terhadap konsep kemaslahahan sebagai sumber hukum tertinggi. Menurutnya, perlindungan terhadap kemaslahahan  adalah tujuan utama Islam (quthb maqshud as-syar'). Oleh sebab itu, dalam permasalahan hukum Islam menurut at-Thufi maslahah menempati urutan pertama. Artinya, maslahah menurutnya lebih diprioritaskan dibanding sumber hukum lainya, yakni al-Qur'an, Hadits dan Ijma'. 


Gagasan at-Thufi yang lebih mesuperioritaskan maslahah ini tak ayal menjadi isu yang kontroversial lantaran gagasan at-Thufi sama sekali bertentangan dan melawan mainstream pemikiran ulama' yang —meminjam istilah Arkoun— cenderung logosentris dan menempatkan maslahah dibawah nash. 


Dalam  mengutarakan teori tentang maslahahnya, at-Thufi menyandarkanya pada empat prinsip. Pertama, Akal bebas menentukan maslahah dan mafsadat, terutama dalam wilayah mu’amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahah dan mafsadat cukup dengan akal. Pendiriannya bahwa akal semata tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan (husn dan qubh) menjadi landasan yang pertama dalam piramida pemikirannya. Tetapi ia membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu’amalah dan adat-istiadat dan melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash. 


Kedua, Maslahah merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujahannya tidak tergantung pada konfirmasi nash, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahah merupakan dalil mandiri untuk menentukan hukum. Karena, sesuatu itu bermanfaat atau mengandung maslahah bisa dinalar dengan atau melalui adat-istiadat dan eksperimen tanpa petunjuk nash.


Ketiga, Maslahah hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat kebiasaan. Sedangkan dalam bidang ibadah, ukuran-ukurannya ditentukan oleh syara’ seperti ibadah mahdah (shalat 5 waktu, puasa bulan ramadhan dan lain sebagainya). Demikian karena hal tersebut merupakan Huququllah (hak-hak Allah). Selanjutnya, dia juga mengatakan bahwa pada hubungan antar manusia itulah akal sangat mengetahui baik-buruknya.


Keempat, Maslahah merupakan dalil syara’ yang peling kuat. Karena itu, jika ada nash dan ijma’ bertentangan dengannya (maslahah), ia harus didahulukan dari keduannya dengan cara takhsis dan bayan terhadap nash. Jadi bukan dengan meninggalkan nash sama sekali.


Dari prinsip-prinsip tersebut, kesimpulan tertinggi atau bisa dibilang ultimate meaning sebagai representasi  dari pemikiran at-Thufi adalah taqdim al-maslahah 'ala an-nushus (lebih memprioritaskan maslahah dibanding nash). Pemikiran at-Thufi demikian yang kemudian membuatnya dikritik, bahkan dikecam dan dihujat oleh banyak ulama'. Syekh Sa'id Ramdlan al-Buthi misalnya, beliau mengkritik gagasan at-Thufi berkeneaan dengan maslahah ini, ia menyatakan, “gagasan at-Thufi hanya membuat hukum bukan lagi bersumber dari Tuhan, melainkan dari hasil ciptaan manusia, sehingga tak lebih seperti halnya utilitirianisme yang beranggapan bahwa maslahah hanya berhenti pada duiniawi”. Wahbah az-Zuhaili melalui karyanya Ushul Fiqh juga mengkritik dan merobohkan konsep maslahah at-Thufi dengan argumen yang logis dan rasional.


Kendati banyak ulama' yang kontra at-Thufi, akan tetapi banyak pula pihak yang pro dan sejalan dengan pemikiranya. Pemikiran brilian at-Thufi dianggap dapat menjadi solusi atas persoalan-persoalan modern. Dari sekian pihak yang pro dengan at-Thufi, ada satu yang menurut pandangan penulis analisanya menarik untuk dikaji. Walaupun pembacaan atau analisanya terhadap epistemologi maslahah at-Thufi terkesan bernada kritis, namun sebenarnya analisanya bersifat afirmatif dan sama sekali tidak merobohkan kesimpulan nalar kemaslahahan at-Thufi, bahkan bisa dikatakan berhasil menkontruksi ulang konsep kemaslahahan at-Thufi. Oleh sebab itu penulis memasukkanya pada pihak yang pro dengan at-Thufi. Analisis itu datang dari Dr. Roy Purwanto dengan bukunya “Dekontruksi Teori Hukum Islam; Kritik terhadap Konsep Mashlahah Najmuddin al-Thufi”.


Buku “Dekontruksi Teori Hukum Islam; Kritik terhadap Konsep Mashlahah Najmuddin al-Thufi” karya Dr. Roy Purwanto ini menarik untuk dibaca, karena  buku ini berada pada posisi kritis kontruktif.


Pada bagian awal buku, Dr. Roy Purwanto membahas tentang riwayat hidup at-Thufi dan bagaimana latar belakang munculnya ide at-Thufi. Menurutnya at-Thufi adalah cendekiawan yang hidup pada abad 7 H, masa dimana bangsa Islam dijajah oleh Mongol, politik dalam kondisi carut marut dan agama Islam mengalami kemunduran. Kondisi inferioritas dan keterjajahan itu yang kemudian mendongkrak motivasi para intelektual untuk berpikir keras membuat pola, merumuskan sikap, mencari posisi dan menyusun srategi. Fenomena itu akhirnya menyisakan kesadaran baru pada figur at-Thufi, sehingga at-Thufi mempunyahi gagasan yang progresif.


Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi dua sisi, yaitu kritik ideologis dan kritik epistemologis. Kritik epistemologis di antaranya adalah belum konsistennya penggunaan akal sebagai epistemologi primer bagi konsep mashlahahnya, karena penggunaan akal dalam konsep maslahah at-Thufi hanya sempit pada masalah mu’amalah. Demikian pula secara metodologi, ia kurang mengeksplorasi konsep mashlahah dengan teori dan definisi yang jelas. Konsep mashlahah yang dibangun aat-Thufi secara metodologi ”kering” teori. Artinya tak didukung dengan teori sosial, etika, dan teori hukum rasional, sehingga apa yang dimaksudkan dengan ”mendahulukan mashlahah daripada nash”(taqdim al-mashlahah ala an-nash) dan hukum-hukum turunannya kurang bisa dipahami secara rasional dan universal.


Kritik kedua secara ideologis, terlihat bahwa konsep mashlahah at-Thufi yang sebenarnya rasional, namun kembali terpasung oleh kekuatan teks. Hal ini terjadi karena, pada era at-Thufi kekuasaan teks (nash) begitu menghegemoni, sehingga setiap pendapat dan teori ilmiah selalu berpusat pada teks (nash). Secara tidak disadari, meskipun telah mencoba untuk bersikap "liberal", keluar dari kungkungan zamannya, namun al-Thufi terlihat masih ”terkungkung” dengan ideologi zamannya, yaitu ideologi teks (bayani). Mashlahah at-Thufi secara epistemologi masih ”kurang liberal" dan masih terkungkung dengan logika bayani, meskipun bayani rasional.


Untuk itu, menurut Roy Purwanto teori maslahah at-Thufi perlu di kontruksi kembali. Dalam usaha merekontruksi teorinya, Roy Purwanto menyatakan perlunya reinterpretasi terhadap term-term seputar konsep maslahah at-Thufi yang menurutnya kurang begitu jelas. Diantara yang perlu direinterpretasi adalah term “nash”. “Nash” yang menurut teori konvensional termasuk at-Thufi adalah teks Ilahi yang tidak butuh interpretasi rasio lantaran sudah begitu jelas, pemahaman demikian perlu diredifinisi, sebab bila tidak menurut Roy, akan terjebak dalam Logosentrisme. Demikian pula term “Qath’i”. Harusnya term “qath’i” adalah sebuah istilah untuk ayat-ayat muhkamat tentang equality, pleasure, kejujuran dan quality.


Disamping meredefinisi, menurut Roy juga perlu merekontruksi maslahah at-Thufi agar relevan dengan dunia modern melalui cara melakukan komparasi dengan teori kemaslahatan milik cendekiawan Islam, Syahrour yang sama sekali terlepas dari kungkungan teks. Disinilah menariknya buku karya Dr. Roy Purwanto. Ia dapat memposisikan konsep maslahah at-Thufi untuk tetap relevan diimplementasikan pada dunia modern, meskipun sebenarnya buku ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut, karena gagasannya yang liberal dan cenderung kontroversial.| RH