Sabtu, 09 Agustus 2014

Pesantrenisasi Nasional


Muh Aminulloh - Santri Lirboyo
Akhirnya MK mengetukkan palunya menarik keputusan bijak terkait gugatan mengenai ketidakadilan pendidikan yang sedang terjadi di negeri ini. Dihapusnya status RSBI/SBI menunjukkan kesadaran tinggi masyarakat terkait tentang pemerataan pendidikan. Sejak awal kemunculannya di belantika pendidikan Indonesia pada 2006-2007 masyarakat sebenarnya sudah merasakan telah terjadi hal yang tidak beres dalam dunia pendidikan negeri ini. Karenanya, dihengkangnya RSBI dari jagat pendidikan Indonesia adalah keputusan bijak yang memang memihak rakyat.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini bukanlah pendidikan-pendidikan berbasis internasional, yang lebih hanya atas dasar gengsi semata. Melainkan berbasis budayanya sendiri. Karena salah satu permasalahan negeri yang paling krusial saat ini adalah hilangnya identitas rakyatnya sebagai anak bangsa yang memang mengenali bangsanya sendiri.

Suatu bangsa, daerah, wilayah atau tempat dapat mempunyai nama besar adalah dikarenakan kesadaran masyarakatnya akan pentingnya melestarikan budayanya sendiri. Ambil contoh Jepang. Negara yang menjadi kiblat peradaban modern ini bisa besar bukan karena kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus dikembangkannya. Melainkan kesadaran masyarakatnya dalam menjunjung tinggi budaya dan tradisinya sendiri. Tak heran budaya Jepang bisa booming menjadi budaya internasional (mendunia). Akrab di telinga kita kabuki, origami, ikebana, manga, dll yang sebenarnya malah bukan budaya kita. Di Indonesia daerah yang sudah berhasil memperoleh kesadaran budaya adalah Bali dan Yogyakarta.

Nilai yang bisa dipetik dari sini untuk keberlangsungan pendidikan Indonesia adalah pentingnya suatu daerah mempunyai identitas dan ciri khas. Ketika disebut ciri khas tersebut maka yang ada dalam benak pendengar adalah daerah itu.

Ironisnya pendidikan nasional di negara kita sampai sekarang belum juga memperoleh identitasnya. Sebagai bukti sering gonta-gantinya kurikulum seiring dengan bergantinya menteri. Hingga berbagai keputusannya yang selalu terkesan berat sepihak. Tidak merata. Dan bisa dipastikan yang beruanglah yang selalu menjadi penikmat utama.

Pendidikan Pesantren sebagai Solusi

Disadari atau tidak sebenarnya di negeri kita pendidikan berbasis budaya sudah berlangsung di sejumlah lembaga. Salah satunya adalah pendidikan pesantren. Namun kenyataan yang ada Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua sekaligus mewakili karakter negeri ini malah terkesan dianaktirikan. Padahal konsep yang digulirkan kemendikbud, yakni pendidikan karakter justru telah sejak lama berlangsung di sini.

Kalaupun materinya lebih didominasi ajaran agama Islam, setidaknya sistem pengajaran dan pendidikan pesantren bisa diadopsi oleh pendidikan nasional. Dengan tanpa menafikan berbagai jenis pesantren yang ada di negeri ini, dalam hal ini penulis lebih merujuk pesantren salaf sebagai cermin. Salah satu sistem pendidikan yang menjadi ciri khasnya adalah bandongan, sorogan dan musyawarah.

Bandongan adalah metode pengajaran di mana kiai (guru) menyampaikan materi yang diajarkannya dengan para santri (murid) mendengar sambil sesekali mencoretkan arti atau keterangan di bawah kata yang dibacakan. Sedangkan sorogan adalah metode pengajaran dengan cara santri (murid) menghadap ke kiai (guru) sembari membaca kitab pelajaran atau melantunkan hafalannya. Atau mudahnya tes lisan di hadapan kiai setelah mendapat materi sebelumnya. Setelah itu dilanjutkan dengan musyawarah. Kegiatan yang terakhir ini adalah pendalaman materi yang telah diterima, di mana yang menjadi aktor utama dalam hal ini bukan kiai melainkan santri itu sendiri.

Eksistensi guru (kiai) dalam pesantren juga masih dipertahankan. Karena bagaimanapun juga seorang murid selalu mencari teladan untuk dijadikan panutan. Bukan malah hanya menjadikan guru sebagai fasilitator dan digantikan oleh internet yang moral saja tidak punya.

Bahkan Gubernur Jawa Timur, DR. Sukarwo, dalam sambutannya ketika Haul I KH Imam Yahya Mahrus, Lirboyo mengatakan, “Sorogan yang menjadi ciri khas pesantren adalah model pendidikan masa depan.” Perlu diketahui program Gubernur Jatim yakni BOS Madin (madrasah diniyah) kini sedang dalam proses pengajuannya ke pemerintah pusat agar lebih bisa diratakan hingga ke pesantren dan madrasah di seluruh pelosok negeri. Hal ini tak lain karena memang para pencetus program ini telah menyadari betapa pesantren merupakan rujukan paling sesuai mengenai pendidikan karakter yang menjadi orientasi pemerintah saat ini.

Mungkin di sejumlah lembaga pendidikan juga telah melaksanakan metode serupa. Namun yang perlu digarisbawahi proses pembelajaran di pesantren tidak hanya berlangsung di kelas saja. Melainkan di setiap waktu, karena sistem asrama yang digunakannya. Pada akhirnya proses belajar menjadi lebih efektif.

Selain itu nilai kesederhanaan dan kebersamaan juga diajarkan dengan cara diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. Mulai dari makan, mandi, tidur, hingga belajar semua dilaksanakan dengan terorganisir dan bersama-sama. Hingga akhirnya menumbuhkan kesadaran sosial tinggi dan solidaritas yang erat antar santri. Kalaupun ada santri yang masih kukuh dengan sikap individualisnya, cepat atau lambat ia akan terpengaruh juga. Entah memilih berbaur atau hengkang. Dan itu semua berlaku bagi seluruh warga (santri) di dalamnya. Pada akhirnya tidak ada lagi istilah si kaya dan si miskin dalam tembok pesantren.

KH. Chudlori, pendiri Pondok Pesantren Salaf API Tegalrejo, Magelang pernah berkomentar, “Yang lebih pas disebut ‘sekolah umum’ sebenarnya adalah pesantren”. Yang dimaksud beliau dalam istilah sekolah umum adalah sekolah yang memang bisa dicapai oleh masyarakat umum. Bukan saja golongan tertentu, apalagi yang berduit. Karena pesantren memang terbuka bagi siapa saja yang ingin mengenyam pendidikan di dalamnya.

Selain itu orientasinya juga demi kemaslahatan umum, yaitu pemenuhan nilai-nilai agama bagi individu maupun masyarakat. Karena agama mutlak dibutuhkan oleh masing-masing personal. Bukan profesi, pangkat atau pekerjaan yang keuntungannya hanya bisa dinikmati oleh pelakunya saja.

Dan yang paling penting visi dan misi pendidikan pesantren adalah menghapus kebodohan, baik diri sendiri maupun orang lain. Inilah dasar utama yang seharusnya dicapai oleh pendidikan nasional. 

Pada akhirnya sudah saatnya pendidikan nasional dipesantrenkan, bukan malah sebaliknya, menasionalkan pesantren hingga malah kehilangan jati diri pesantren itu sendiri.

*sumber: Facebook/Muh Aminullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar