Muhammad Makmun Abha – Jepara
Pesantren bukanlah institusi pendidikan yang ditiru dari negara-negara lain layaknya pendidikan formal yang menjadi warisan Belanda di negeri ini. Pesantren adalah “legenda hidup” dan “lakon” yang masih eksis hingga hari ini.

Peradaban Islam Indonesia saat ini tepat berada di tengah medan percaturan semua peradaban besar yang sedang bersaing yaitu Barat, Islam, Amerika, Jepang, Cina dan India. Peradaban Amerika yang didukung oleh negara-negara Eropa, Kanada dan Australia masih merajai percaturan peradaban dunia. Jepang yang sekarang memiliki keunggulan sebagai pelaku industri dan perdagangan nomor dua di dunia setelah Amerika masih belum akan tergusur dalam puluhan tahun mendatang. Sementara Cina, kini sedang melaju sebagai negara industri dan perdagangan nomor empat setelah Jerman. Hal yang sama juga dialami India yang sangat maju sebagai pemain baru dalam medan industri.

Dengan melihat percaturan peradaban di atas, dapat terlihat bahwa peradaban Islam Indonesia terhitung paling lemah dalam hal kekuatan ekonomi dan politik dibandingkan dengan peradaban-peradaban lainnya. Padahal sejatinya ada sektor lain yang mampu ditampilkan oleh Islam Indonesia dalam kancah pertarungan peradaban.

Mengapa? Karena Islam sebagai sebuah peradaban dunia tidak bisa dilepaskan dari mayoritas penduduknya yang berada di Indonesia. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk membuat peradaban Islam di kancah internasional layaknya Mesir, Syiria, Sudan, Maroko, Arab Saudi dan sebagainya. Indonesia -sebagai negara yang menyumbang jumlah terbanyak umat Islam di dunia- seharusnya mampu menjadi yang terdepan dalam memimpin peradaban Islam khususnya dalam bidang keilmuan. Faktanya peradaban keilmuan dalam Islam masih dipegang oleh Mesir yang mengalahkan Arab Saudi sebagai negara di mana Islam itu muncul.

Dari total penduduk muslim di Indonesia, terdapat sekitar 110 juta penduduk Muslim Indonesia yang tinggal di pelosok-pelosok dan pedesaan-pedesaan. Mereka ini adalah penduduk Muslimyang dalam kesehariannya mengikuti dan bertumpu pada bimbingan ustadz, kyai dan ulama yang mayoritas adalah lulusan pondok pesantren. Dengan demikian, tidak ada salahnya jika dikatakan bahwa peradaban Islam Indonesia adalah peradaban pesantren. Pendapat ini diperkuat oleh fakta penyebaran Islam ke Indonesia khususnya di tanah jawa melalui jalur damai yang diprakarsai oleh para wali. Para wali inilah yang kemudian membuat model pengajaran yang kelak disebut dengan pesantren.

Diakui atau tidak, pesantren adalah sebuah institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri. Pesantren bukanlah institusi pendidikan yang ditiru dari negara-negara lain layaknya pendidikan formal yang menjadi warisan Belanda di negeri ini. Pesantren adalah “legenda hidup” dan “lakon” yang masih eksis hingga hari ini.

Dengan demikian tidaklah mengherankan jika Al-Marhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid mengatakan, “Jika Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mewarisi corak pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI,IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya, melainkan mungkin Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, Sidogiri, Lirboyo dan seterusnya.

Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat di mana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Sebagai contoh, universitas-universitas ternama di Amerika seperti Universitas Harvard, dulunya merupakan lembaga keagamaan yang didirikan oleh Pendeta Harvard, kemudian saat ini telah berkembang menjadi universitas modern, ternama dan berpengaruh didunia.

Posisi Indonesia yang lemah dalam percaturan peradaban dunia saat ini salah satunya disebabkan karena kelemahan dimensi akademik dalam tradisi pesantren sebagai kekuatan utama penyangga kesatuan bangsa. Padahal dalam percaturan akulturasi peradaban, kekuatan utama yang menjadi penopang adalah pemikiran akademik yang maju. Selain itu pesantren pada umumnya kurang memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu dan problem-problem kontemporer yang berkembang di masyarakat.

Sebagai contoh kecil adalah banyak sekali dijumpai akademisi pesantren (santri, ustadz dan kyai) yang mahir dalam bidang ekonomi Islam yang didasarkan pada kitab-kitab fikih klasik. Mereka akan sangat fasih saat menjelaskan persoalan seperti tijarah, hiwalah, syuf’ah, dlamaan, riba dan sejenisnya namun mereka akan mengalami kesulitan ketika mengaplkasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Peroblematika semacam ini terjadi karena tradisi akademik pesantren masih belum mapan lantaran masih adanya upaya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal sejatinya semua ilmu di bumi ini adalah ilmu Allah SWT. Mungkin saja kita lupa bahwa orang pertamakali yang mendapat julukan “sufi” adalah seorang penemu teori aljabar dan ilmuwan besar dalam bidang kimia, farmasi dan filsafat yaitu Jabir bin Hayyan al-Azdi.

Di pesantren, Imam al-Ghazali juga sering disalahpahami sebagai orang yang meninggalkan kehidupan dunia untuk mencari kebahagiaan abadi khususnya ketika beliau mengarang kitab “ayyuhaal-walad” dan “ihya’ ‘ulum al-din”. Mereka lupa bahwa Imam al-Ghazali pernah menulis kitab “al-ma’arif al-aqliyah”, “maqhasid al-falasifah”,“al-iqtishad fi al-i’tiqod” dan bahkan kitab “al-mustashfa min ‘ilmal-ushul”.

Di pesantren, Imam al-Ghazali hanya dinilai sebagai orang yang memerangi filsafat (ilmu rasional) dan beberapa ajaran yang dibawakan oleh kaum Batiniah melalui kitabnya “tahafut al-falasifah”, “al-munqidz minal-dhalal” dan “fadla'ih al-bathiniyyah”. Padahal Imam al-Ghazali mendapat julukan hujjatul Islam itu karena beliau mampu melakukan sinergi yang imbang di antara pendapat filosof dan kaum sufi bathiniyyah.

Imam al-Ghazali bukanlah orang yang menolak filsafat karena hanya tiga persoalan saja yang ditolak oleh imam al-Ghazali dalam filsafat sementara yang laindiperbolehkan bahkan beliau masih meragukan keilmuan orang yag tidak menguasai ilmu manthiq (logika) di mana ilmu manthiq adalah salah satu cabang dari ilmu filsafat.

Melihat perkembangan keilmuan dan fenomena di masyarakat Indonesia dan dunia internasional yang semakin maju, pesantren seharusnya tertantang untuk mengembangkan diri dengan cara terus meningkatkan kualitas keilmuannya dan terus menumbuhkan sensitivitas terhadap perkembangan di masyarakat dan meningkatkan kemampuannya dalam turut mengatasi problem-problem yang berkembang di masyarakat.

Imam al-Syafi’i pernah berkata, “innii ra’aitu wuquuf al-maa’i yufsiduhu, in saala thaaba wa in lam yajri lam yathib” artinya aku melihat air bening yang diam (tidak mengalir) itu akan menghancurkan dirinya sendiri, jika ia mau mengalir maka ia akan (tetap) bersih, sementara jika ia tidak mau mengalir maka ia tidak akan bersih.

Dalam hal ini barangkali pesantren adalah “kawah candradimuka” yang sudah bagus dan ideal, namun jika ia tidak mampu bergerak dalam rangka menjawab tantangan zamannya maka pesantren akan ditinggalkan zaman. Pesantren adalah gambaran ideal dari Islam di Indonesia bahkan dunia, namun jika pesantren tidak mampu mewarnai dan memimpin peradaban dunia maka pesantren justru akan terwarnai dan terkikis.

Pesantren diharapkan mampu mencetak generasi ustadz, kyai dan ulama yang responsif terhadap perkembangan keilmuan dan permasalahan sosial. Ulamayang responsif terhadap perkembangan keilmuan dan sosial biasanya bukanlah ulama’ yang cakrawala keilmuanya “mandeg” dan tidak mengalami peningkatan. Padahal mayoritas anak didik di pesantren akan sangat dipengaruhi oleh kecakapan para gurunya. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa hebatnya peran pesantren dalam menatap pertarungan peradaban ini jika mampu menelurkan generasi yang tidak hanya merasa cukup dengan ilmu-ilmu yang didapat dari pesantren saja namun masih haus akan ilmu pengetahuan yang tidak didapat dalam pesantren.

Di zaman belum ada teknologi yang canggih seperti sekarang ini, komunitas dunia pesantren sudah mengenal negara-negara muslim lain, bukan karena mereka pernah datang ke sana melainkan karena mereka membaca karya-karya ulama’ di sana. Mereka mengenal Maroko (Maghrib) setelah membaca kitab “Al-Ajurumiyyah” karya Imam al-Shanhaji dan kitab“Dalail Al-Khairat” karya seorang sufi besar Imam al-Jazuli. Mereka mengenal Madinah karena membaca kitab “Al-Muwaththa’” karya Imam Malik, mereka mengenal Mesir setelah membaca kitab-kitab karya Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Jalal al-Din al-Suyuthi, dan sebagainya. Mereka mengenal Andalusia (Spanyol) karena membaca kitab “Nadzm Al-Khulashah” karya Imam Ibnu Malik dan seterusnya.

Dengan demikian untuk mewarnai perdaban dunia, civitas akademika pesantren diharapkan mampu berkiprah dengan memunculkan karya-karya pesantren khususnya yang menggunakan bahasa internasional yaitu Arab dan Inggris. Pesantren sekarang sudah tidak saatnya lagi menjadi qari’ al-tarikh (pembacasejarah) kegemilangan ulama’ klasik tapi harus mampu menjadi shani’al-tarikh (pencetak sejarah) itu sendiri.

Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam al-Syafi’i, Imam al-Haramain, Imamal-Ghazali, Imam al-Syihristani, Imam Fakhr al-Din al-Razi dan sebagainya dikenal oleh dunia hingga sekarang bukan lantaran kekayaannya, kehebatannya dalam berdebat dan berpidato melainkan karena kehebatannya dalam menelorkan kitab-kitab yang menjadi pedoman keilmuan tidak hanya di dunia Islam tapi juga dunia internasional.

Dahulu Indonesia juga sempat mewarnai peradaban Islam dunia dengan tokoh-tokohnya seperti Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Khatib Syambas, Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Syaikh Yasin al-Fadani, dan sebagainya yang menjadi pendekar ilmu agama di tanah “Haram” melalui karya-karyanya bukan melalui keampuhan, kekayan dan keahliannya dalam berpidato.

Jika dalam lingkup nasional, Al-Marhum KH. A. Warshon MoenawwirKrapyak dengan kamus “al-Munawwir”-nya, KH Attabik Ali Ma’shum Krapyak dengan kamus “al-‘Ashri”-nya, KH. Munawwir Abdul Fattah Krapyak (asal Jepara) dengan kamus “al-Bisyri”-nya, mampu menggeser penggunaan kamus “al-Munjid”-nya Louis Ma’luf di dunia pesantren, maka lebih dari itu sebenarnya di era sekarang peran Al-Marhum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz Kajen sungguh luar biasa dalam kancah internasional.

Mbah Sahal merupakan salah seorang ulama’ yang mampu mengenalkan tradisi pesantren di kancah internasional melalui karya-karyanya khususnya kitab "thariqat al-husul" yang mensyarahi kitab "ghayat al-wushul"-nya Imam Zakariya al-Anshari Mesir. Selain melalui tulisan-tulisannya Mbah Sahal juga memperkenalkan pesantren di dunia internasional melalui perjuangannya di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama sebagai Rais ‘Aam di mana NU merupakan ormas muslim terbesardi dunia.

Dalam hal ini upaya dasar yang dapat dilakukan dalam membangun peradaban dunia melalui pesatren setidaknya bisa dilakukan melalui dua hal yaitu melalui peningkatan dunia tulis menulis dan melalui kiprah perjuangan di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama karena pesantren dan NU tidak bisa dipisahkan. Pesantrena dalah NU kecil sementara NU adalah pesantren besar, keduanya saling melengkapi dan saling sinergi.

Jika karya-karya civitas akademika pesantren dapat dibaca oleh seluruh umat Muslim di dunia bukan tidak mungkin kalau pesantren akan mulai menjadi sorotan dan pada gilirannya akan mampu memimpin peradaban dunia. Hal yang sama juga akan tercapai apabila Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama mampu memimpin perdaban muslim lainnya maka pesantren akan semakin kelihatan peran besarnya dalam kancah internasional. Semoga. [] 
*Sumber: Santrijagad