Pesantren bukanlah institusi pendidikan yang ditiru
dari negara-negara lain layaknya pendidikan formal yang menjadi warisan Belanda
di negeri ini. Pesantren adalah “legenda hidup” dan “lakon” yang masih eksis
hingga hari ini.
Peradaban Islam Indonesia saat ini tepat berada
di tengah medan percaturan semua peradaban besar yang sedang bersaing yaitu
Barat, Islam, Amerika, Jepang, Cina dan India. Peradaban Amerika yang didukung
oleh negara-negara Eropa, Kanada dan Australia masih merajai percaturan
peradaban dunia. Jepang yang sekarang memiliki keunggulan sebagai pelaku
industri dan perdagangan nomor dua di dunia setelah Amerika masih belum akan
tergusur dalam puluhan tahun mendatang. Sementara Cina, kini sedang melaju
sebagai negara industri dan perdagangan nomor empat setelah Jerman. Hal yang
sama juga dialami India yang sangat maju sebagai pemain baru dalam medan
industri.
Dengan melihat percaturan peradaban di atas,
dapat terlihat bahwa peradaban Islam Indonesia terhitung paling lemah dalam hal
kekuatan ekonomi dan politik dibandingkan dengan peradaban-peradaban lainnya.
Padahal sejatinya ada sektor lain yang mampu ditampilkan oleh Islam Indonesia
dalam kancah pertarungan peradaban.
Mengapa? Karena Islam sebagai sebuah peradaban
dunia tidak bisa dilepaskan dari mayoritas penduduknya yang berada di
Indonesia. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk membuat peradaban Islam
di kancah internasional layaknya Mesir, Syiria, Sudan, Maroko, Arab Saudi dan
sebagainya. Indonesia -sebagai negara yang menyumbang jumlah terbanyak umat
Islam di dunia- seharusnya mampu menjadi yang terdepan dalam memimpin peradaban
Islam khususnya dalam bidang keilmuan. Faktanya peradaban keilmuan dalam Islam
masih dipegang oleh Mesir yang mengalahkan Arab Saudi sebagai negara di mana
Islam itu muncul.
Dari total penduduk muslim di Indonesia,
terdapat sekitar 110 juta penduduk Muslim Indonesia yang tinggal di
pelosok-pelosok dan pedesaan-pedesaan. Mereka ini adalah penduduk Muslimyang
dalam kesehariannya mengikuti dan bertumpu pada bimbingan ustadz, kyai dan
ulama yang mayoritas adalah lulusan pondok pesantren. Dengan demikian, tidak
ada salahnya jika dikatakan bahwa peradaban Islam Indonesia adalah peradaban
pesantren. Pendapat ini diperkuat oleh fakta penyebaran Islam ke Indonesia
khususnya di tanah jawa melalui jalur damai yang diprakarsai oleh para wali.
Para wali inilah yang kemudian membuat model pengajaran yang kelak disebut
dengan pesantren.
Diakui atau tidak, pesantren adalah sebuah
institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri.
Pesantren bukanlah institusi pendidikan yang ditiru dari negara-negara lain
layaknya pendidikan formal yang menjadi warisan Belanda di negeri ini.
Pesantren adalah “legenda hidup” dan “lakon” yang masih eksis hingga hari ini.
Dengan demikian tidaklah mengherankan jika
Al-Marhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid mengatakan, “Jika Indonesia tidak
mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan
mewarisi corak pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang
ini tidak akan berupa ITB, UI,IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya, melainkan
mungkin Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, Sidogiri,
Lirboyo dan seterusnya.
Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat
dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat di mana hampir semua
universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula
berorientasi keagamaan. Sebagai contoh, universitas-universitas ternama di
Amerika seperti Universitas Harvard, dulunya merupakan lembaga keagamaan yang
didirikan oleh Pendeta Harvard, kemudian saat ini telah berkembang menjadi
universitas modern, ternama dan berpengaruh didunia.
Posisi Indonesia yang lemah dalam percaturan
peradaban dunia saat ini salah satunya disebabkan karena kelemahan dimensi
akademik dalam tradisi pesantren sebagai kekuatan utama penyangga kesatuan
bangsa. Padahal dalam percaturan akulturasi peradaban, kekuatan utama yang
menjadi penopang adalah pemikiran akademik yang maju. Selain itu pesantren pada
umumnya kurang memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu dan
problem-problem kontemporer yang berkembang di masyarakat.
Sebagai contoh kecil adalah banyak sekali
dijumpai akademisi pesantren (santri, ustadz dan kyai) yang mahir dalam bidang
ekonomi Islam yang didasarkan pada kitab-kitab fikih klasik. Mereka akan sangat
fasih saat menjelaskan persoalan seperti tijarah, hiwalah, syuf’ah, dlamaan,
riba dan sejenisnya namun mereka akan mengalami kesulitan ketika mengaplkasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Peroblematika semacam ini terjadi karena
tradisi akademik pesantren masih belum mapan lantaran masih adanya upaya
pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal sejatinya semua ilmu di bumi
ini adalah ilmu Allah SWT. Mungkin saja kita lupa bahwa orang pertamakali yang
mendapat julukan “sufi” adalah seorang penemu teori aljabar dan ilmuwan besar
dalam bidang kimia, farmasi dan filsafat yaitu Jabir bin Hayyan al-Azdi.
Di pesantren, Imam al-Ghazali juga sering
disalahpahami sebagai orang yang meninggalkan kehidupan dunia untuk mencari
kebahagiaan abadi khususnya ketika beliau mengarang kitab “ayyuhaal-walad” dan
“ihya’ ‘ulum al-din”. Mereka lupa bahwa Imam al-Ghazali pernah menulis kitab
“al-ma’arif al-aqliyah”, “maqhasid al-falasifah”,“al-iqtishad fi al-i’tiqod”
dan bahkan kitab “al-mustashfa min ‘ilmal-ushul”.
Di pesantren, Imam al-Ghazali hanya dinilai
sebagai orang yang memerangi filsafat (ilmu rasional) dan beberapa ajaran yang
dibawakan oleh kaum Batiniah melalui kitabnya “tahafut al-falasifah”,
“al-munqidz minal-dhalal” dan “fadla'ih al-bathiniyyah”. Padahal Imam
al-Ghazali mendapat julukan hujjatul Islam itu karena beliau mampu melakukan
sinergi yang imbang di antara pendapat filosof dan kaum sufi bathiniyyah.
Imam al-Ghazali bukanlah orang yang menolak
filsafat karena hanya tiga persoalan saja yang ditolak oleh imam al-Ghazali
dalam filsafat sementara yang laindiperbolehkan bahkan beliau masih meragukan
keilmuan orang yag tidak menguasai ilmu manthiq (logika) di mana ilmu manthiq
adalah salah satu cabang dari ilmu filsafat.
Melihat perkembangan keilmuan dan fenomena di
masyarakat Indonesia dan dunia internasional yang semakin maju, pesantren
seharusnya tertantang untuk mengembangkan diri dengan cara terus meningkatkan
kualitas keilmuannya dan terus menumbuhkan sensitivitas terhadap perkembangan
di masyarakat dan meningkatkan kemampuannya dalam turut mengatasi
problem-problem yang berkembang di masyarakat.
Imam al-Syafi’i pernah berkata, “innii ra’aitu
wuquuf al-maa’i yufsiduhu, in saala thaaba wa in lam yajri lam yathib” artinya
aku melihat air bening yang diam (tidak mengalir) itu akan menghancurkan
dirinya sendiri, jika ia mau mengalir maka ia akan (tetap) bersih, sementara
jika ia tidak mau mengalir maka ia tidak akan bersih.
Dalam hal ini barangkali pesantren adalah
“kawah candradimuka” yang sudah bagus dan ideal, namun jika ia tidak mampu
bergerak dalam rangka menjawab tantangan zamannya maka pesantren akan
ditinggalkan zaman. Pesantren adalah gambaran ideal dari Islam di Indonesia
bahkan dunia, namun jika pesantren tidak mampu mewarnai dan memimpin peradaban
dunia maka pesantren justru akan terwarnai dan terkikis.
Pesantren diharapkan mampu mencetak generasi
ustadz, kyai dan ulama yang responsif terhadap perkembangan keilmuan dan
permasalahan sosial. Ulamayang responsif terhadap perkembangan keilmuan dan
sosial biasanya bukanlah ulama’ yang cakrawala keilmuanya “mandeg” dan tidak
mengalami peningkatan. Padahal mayoritas anak didik di pesantren akan sangat
dipengaruhi oleh kecakapan para gurunya. Dengan demikian, dapat dibayangkan
betapa hebatnya peran pesantren dalam menatap pertarungan peradaban ini jika
mampu menelurkan generasi yang tidak hanya merasa cukup dengan ilmu-ilmu yang
didapat dari pesantren saja namun masih haus akan ilmu pengetahuan yang tidak
didapat dalam pesantren.
Di zaman belum ada teknologi yang canggih
seperti sekarang ini, komunitas dunia pesantren sudah mengenal negara-negara muslim
lain, bukan karena mereka pernah datang ke sana melainkan karena mereka membaca
karya-karya ulama’ di sana. Mereka mengenal Maroko (Maghrib) setelah membaca
kitab “Al-Ajurumiyyah” karya Imam al-Shanhaji dan kitab“Dalail Al-Khairat”
karya seorang sufi besar Imam al-Jazuli. Mereka mengenal Madinah karena membaca
kitab “Al-Muwaththa’” karya Imam Malik, mereka mengenal Mesir setelah membaca
kitab-kitab karya Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Jalal al-Din al-Suyuthi, dan
sebagainya. Mereka mengenal Andalusia (Spanyol) karena membaca kitab “Nadzm
Al-Khulashah” karya Imam Ibnu Malik dan seterusnya.
Dengan demikian untuk mewarnai perdaban dunia,
civitas akademika pesantren diharapkan mampu berkiprah dengan memunculkan
karya-karya pesantren khususnya yang menggunakan bahasa internasional yaitu
Arab dan Inggris. Pesantren sekarang sudah tidak saatnya lagi menjadi qari’
al-tarikh (pembacasejarah) kegemilangan ulama’ klasik tapi harus mampu menjadi
shani’al-tarikh (pencetak sejarah) itu sendiri.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam al-Syafi’i,
Imam al-Haramain, Imamal-Ghazali, Imam al-Syihristani, Imam Fakhr al-Din
al-Razi dan sebagainya dikenal oleh dunia hingga sekarang bukan lantaran
kekayaannya, kehebatannya dalam berdebat dan berpidato melainkan karena
kehebatannya dalam menelorkan kitab-kitab yang menjadi pedoman keilmuan tidak
hanya di dunia Islam tapi juga dunia internasional.
Dahulu Indonesia juga sempat mewarnai peradaban
Islam dunia dengan tokoh-tokohnya seperti Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh
Khatib Syambas, Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Syaikh Yasin
al-Fadani, dan sebagainya yang menjadi pendekar ilmu agama di tanah “Haram”
melalui karya-karyanya bukan melalui keampuhan, kekayan dan keahliannya dalam
berpidato.
Jika dalam lingkup nasional, Al-Marhum KH. A.
Warshon MoenawwirKrapyak dengan kamus “al-Munawwir”-nya, KH Attabik Ali Ma’shum
Krapyak dengan kamus “al-‘Ashri”-nya, KH. Munawwir Abdul Fattah Krapyak (asal
Jepara) dengan kamus “al-Bisyri”-nya, mampu menggeser penggunaan kamus
“al-Munjid”-nya Louis Ma’luf di dunia pesantren, maka lebih dari itu sebenarnya
di era sekarang peran Al-Marhum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz Kajen sungguh luar
biasa dalam kancah internasional.
Mbah Sahal merupakan salah seorang ulama’ yang
mampu mengenalkan tradisi pesantren di kancah internasional melalui
karya-karyanya khususnya kitab "thariqat al-husul" yang mensyarahi
kitab "ghayat al-wushul"-nya Imam Zakariya al-Anshari Mesir. Selain
melalui tulisan-tulisannya Mbah Sahal juga memperkenalkan pesantren di dunia
internasional melalui perjuangannya di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama sebagai Rais
‘Aam di mana NU merupakan ormas muslim terbesardi dunia.
Dalam hal ini upaya dasar yang dapat dilakukan
dalam membangun peradaban dunia melalui pesatren setidaknya bisa dilakukan melalui
dua hal yaitu melalui peningkatan dunia tulis menulis dan melalui kiprah
perjuangan di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama karena pesantren dan NU tidak bisa
dipisahkan. Pesantrena dalah NU kecil sementara NU adalah pesantren besar,
keduanya saling melengkapi dan saling sinergi.
Jika karya-karya civitas akademika pesantren
dapat dibaca oleh seluruh umat Muslim di dunia bukan tidak mungkin kalau
pesantren akan mulai menjadi sorotan dan pada gilirannya akan mampu memimpin
peradaban dunia. Hal yang sama juga akan tercapai apabila Jam’iyyah Nahdlatul
‘Ulama mampu memimpin perdaban muslim lainnya maka pesantren akan semakin
kelihatan peran besarnya dalam kancah internasional. Semoga. []
*Sumber: Santrijagad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar